Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Catatan Kecil Perjalanan Wisata ke Eropa

10 Juni 2014   00:07 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:29 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14023083641632744893

[caption id="attachment_328201" align="aligncenter" width="609" caption="Beca di Amsterdam (koleksi pribadi)"][/caption]

Berwisata ke Eropa membuat saya dan istri mempersiapkan sejumlah “logistik” seperti orang yang akan maju perang. Dari penuturan kenalan yang sudah pernah ke sana, makanan Eropa sama sekali tak cocok dengan lidah kita, menu dengan nasi nyaris tak ada, sehingga bekal pop mie, abon, sambal ABC kemasan sachet, mutlak harus dibawa. Abon dan sambal ABC sachet tak terlalu makan tempat, namun pop mie lumayan banyak menyita ruangan dalam kopor, apalagi bila di-stock dalam jumlah banyak. Untuk wisatawan asal Palembang, membawa kemplang (sejenis kerupuk khas Palembang) juga dianjurkan sebagai ganjal perut, manakala menu Eropa tak berkenan di lidah.

Hal lain yang menjadi “obstacle” (ganjalan) buat rerata orang Indonesia adalah soal pipis. Bahkan menurut “tour leader” kami, soal pipis ini merupakan ciri khas wisatawan Indonesia, karena sebentar-sebentar cari toilet untuk pipis. Karena perjalanan selama 12 hari ini ditempuh dengan bus, saya membayangkan di dalam bus tersedia toilet. Ternyata sesuai dengan peraturan, toilet dilarang diadakan di dalam bus. Tapi ada peraturan yang mengharuskan supir bus untuk berhenti di rest area setiap dua jam mengemudi. Jadi berbeda dengan supir bus antar kota di negeri kita yang bisa berjam-jam ngebut tanpa jeda, sehingga penumpang menahan kencing. Kecepatan bus di Eropa juga dibatasi 100 km/jam. Bila ketentuan “speed limit”dan istirahat setiap dua jam ini dilanggar, maka denda yang harus dibayar besar sekali.

“Rest area” banyak tersebar sepanjang perjalanan dan di sini juga tersedia mini market dan coffee shop. Persoalan menuruti “perintah bawahan” (pipis) ini, mempunyai cerita yang unik. Secara umum, bila kita pipis di rest area tidak dipungut beaya alias gratis. Tapi di obyek-obyek wisata, untuk pipis ini kita harus membayar 30 sen atau 50 sen Euro. Anda bisa hitung sendiri bila kurs 1 Euro = Rp 16.000, maka untuk sekali pipis ini kita bayar 5 sampai 8 ribu rupiah. Bandingkan dengan buang air kecil di tanah air yang cuma seribu perak saja. Toilet berbayar ini ada yang dijaga orang, ada yang pakai koin (coin operated) dan diberi pintu berputar (rotating gate). Kalau dijaga orang (seperti di Menara Miring Pisa), kita bisa memberi uang besar dan akan diberi uang kembalian, tapi di toilet yang memakai koin, kita harus memasukkan koin yang sesuai.

Soal air minum juga menjadi “issue” buat orang Indonesia. Padahal secara umum di negara-negara Eropa, air keran bisa diminum tanpa harus direbus, termasuk di “water fountain” yang tersedia di tempat umum. Air mineral dalam botol yang di tanah air kita cuma Rp 4 ribu, di sini sekitar 1 Euro, berarti sekitar Rp 16 ribu. Bahkan ada yang menjualnya lebih mahal, sampai 2 Euro. Karenanya, wisatawan Indonesia selalu membawa botol lock a lock kosong untuk diisi air putih pada saat kita makan pagi (breakfast). Saking seringnya wisatawan menampung air putih cadangan ini, sampai pada salah satu hotel memasang harga 1,5 Euro kalau kita mau mengetap air putih ini.

Bicara soal menu makanan, saya yang mengikuti wisata dengan “Ritz Tour” harus merasa bersyukur, karena 70 persen hidangan makan siang dan malam selalu tersedia nasi dan lauk yang relatif sama dengan masakan Indonesia. Selebihnya, 30 persen makanan khas negara yang kita kunjungi, tapi lagi-lagi kita bersyukur karena di Paris pun ada ada menu nasi kuning yang memang makanan khas mereka. Rasanya berbeda dengan nasi kuning kita yang gurih karena diberi santan, tapi “it’s okay”. Sebegitu melimpah kita disuguhi makan nasi, sehingga pop mie yang kita bawa dari tanah air nyaris tak disentuh. Abon tetap bermanfaat untuk menambah selera makan, tapi yang paling “berjasa” adalah sambal ABC sachet. Tak terbayangkan kalau kita tak didukung oleh sambal ABC yang membuat kita “leko” (makan dengan berselera).

“Issue” lainnya dalam rangka mengadakan wisata ke Eropa ini adalah koneksi internet. Ada yang menyarankan membeli paket internet di negara setempat, ada pula yang menyarankan memakai paket internet Indonesia. Saya memutuskan memakai paket internet XL yang berbeaya Rp 100 ribu per hari (unlimited), karena katanya XL mempunyai jaringan kerja sama dengan provider di negara-negara Eropa yang terbaik (misalnya dengan Vodafone, Orange dsb). Ternyata dalam prakteknya paket internet XL ini sama sekali tak dapat saya pakai. Entahlah mengapa, padahal saya sudah mengikuti petunjuk setting yang harus dilakukan. Bersyukurlah, sebagian besar hotel tempat kami menginap menyediakan wi-fi gratis dan dengan wi-fi ini saya berinternet.

Jadi saran saya, dalam berwisata ke Eropa kita tak perlu memakai provider Indonesia maupun negara Eropa. Sarana wi-fi gratis cukup tersedia di hotel. Bahkan pada wisata ke Yerusalem (Israel) katanya di dalam bus juga disediakan wi-fi gratis, sehingga sepanjang hari di dalam bus kita bisa internetan. Di bandara Abu Dhabi yang menjadi tempat transit perjalanan kami juga menyediakan fasilitas wi-fi gratis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun