Mengatai seseorang bodoh didalam keseharian kita, lebih sering merupakan ungkapan kekesalan daripada kesengajaan kita untuk menghina orang itu. Namun akibat yang ditimbulkan bagi yang bersangkutan akan sama saja, dia akan merasa terhina dan terlukai perasaannya.
Oleh karenanya, cetusan kata bodoh ini jarang kita lontarkan secara frontal kepada seseorang, kecuali mungkin kepada bawahan kita yang paling bawah atau kepada anggota keluarga atau orang yang sudah sangat akrab dengan kita. Sebagian terbesar umpatan ‘bodoh’ ini justru kita ucapkan dibelakang punggung orang yang bersangkutan.
Kata ‘bodoh’ ini didalam semua bahasa di dunia mungkin salah satunya yang memiliki sinonim yang terbanyak. Di dalam bahasa kita ada kata ‘bego, bloon, tolol, dungu, pandir, bebal, goblok, otak udang’ dan mungkin masih banyak lagi. Di ‘bahasa Palembang’ pun ada kata pejoratif bengak dan buyan yang mengkonotasikan kebodohan yang parah.
Apakah orang yang kita cerca itu benar-benar bodoh? Dalam banyak hal seringkali tidaklah demikian halnya, tetapi semata karena ‘ketidak tahuan’ atau ’kelalaian’ belaka. Dan tentunya kita sudah berbuat semena-mena (being unfair) dengan memberi cap ‘bodoh’ ke keningnya. Seorang supir baru, yang keliru mengisi tangki mobil kita yang bermesin bensin dengan solar, pastilah akan menuai kata bodoh dari mulut kita. Padahal mungkin saja dia masih naif dalam soal ini,sekalipun untuk kita tidak ada kata excuse.
Menjadi bodoh secara inteletual tidak pernah merupakan cita-cita seseorang. Karena itulah kita bersekolah dan karena itulah kita selalu belajar sepanjang hidup. Tetapi sayang sekali, memang ada sebagian dari saudara kita yang terlahir dengan kemampuan intelek yang terbelakang. Ada istilah psikologi ‘idiot,moron,imbesil’ untuk menggambarkan IQ seseorang yang kurang. Dalam hal ini saya teringat akan sebuah novel yang bagus sekali berjudul Forrest Gump karangan Winston Groom yang sudah dilayar lebarkan dengan judul yang sama.
Didalam novel ini digambarkan dengan amat menarik kisah seorang idiot savant yang bernama Forrest Gump. Karena keterbelakangannya dia selalu mendapat cibiran orang dan tidak jarang pula diperdaya, meskipun semuanya diterima dengan hati lapang. Suatu saat seorang temannya (yang normal) mengalami ’pecah ban’ dan harus mengganti ban itu. Karena terburu-buru, baut pengikat yang dia letakkan diatas lempengan velg, tersenggol masuk kedalam got berkisi-kisi yang dalam. Ditengah kebingungan karena sedang dikejar waktu, sedangkan ban serep tidak bisa dipasang karena bautnya hilang, keluarlah ucapan si Forrest yang mengejutkan. Dia berkata: ” Kenapa tidak diambil satu baut dari masing-masing ban, dan dipasangkan pada ban serep? Dengan begitu masing-masing ban punya 3 baut dan kau bisa melanjutkan perjalanan.” Dengan penuh keheranan si Curtis,temannya ini berkata: ”Kau ini idiot, kenapa kok bisa punya ide begitu?” Dan jawab si Forrest yang legendaris : ”May be I am a idiot, but at least I ain’t stupid.”
Kalau ‘bodoh secara intelektual’ bisa dihilangkan dengan selalu belajar dan terus belajar, maka ada satu kebodohan lainnya yang justru amat sulit diberantas. Ini saya namakan dengan ‘kebodohan ideologis’. Orang yang bodoh secara ideologis tidak akan pernah mau menerima pendapat orang lain. Dia akan menutup telinga rapat-rapat terhadap argumentasi yang menyanggah ‘pendapat’nya. Untuk dia, pendapatnyalah yang paling benar, dan semua pendapat orang lain ’tidak bisa diterima dengan alasan apapun’.
Kebodohan ideologis ini apabila masuk ke wilayah agama bisa menjadi amat berbahaya. Mengapa? Karena agama adalah sakral hakekatnya, dan dia menjadi way of life seseorang, sehingga apa yang diwahyukan oleh agama, itulah yang dilaksanakan manusia. Anda tentu pernah mendengar cerita seorang pemimpin agama tertentu yang menanamkan keyakinan kepada pengikutnya untuk ’bunuh diri secara komunal agar bisa masuk surga bersama-sama’. Dan ini benar-benar dilaksanakan oleh penganutnya, sekalipun diantara mereka itu tidak sedikit yang ’pandai’ secara intelektual, seperti dokter, eksekutif senior dan lainnya.
Apakah didalam agama orang bisa dibuat ’bodoh secara ideologis’? Jawab saya sangat mungkin dan terbuka lebar. Karena sekalipun agama adalah wahyu dari Tuhan, manusia yang menafsirnya tidak mungkin lepas dari kekeliruan. Siapa yang bisa mengklaim dirinya seratus persen ’mengenal’ Tuhan dan berhak menjadi juru bicara Tuhan. Dan dari pandangan saya inilah segala sumber dari pertikaian antar umat beragama di dunia dewasa ini. Banyak orang dibuat ’bodoh secara ideologis’ bukan oleh agama (perhatikan kata yang tercetak tebal), tetapi oleh ’manusia yang sangat berpengaruh’ yang memberi penafsiran atas agamanya.
Supaya tidak terlampau mengernyitkan kening membaca tulisan diatas, saya ada sebuah joke mengenai blonde babe. Entah kenapa di dunia Barat sana, seorang cewek yang pirang selalu dianggap IQ jongkok alias foolish. Suatu saat seorang gadis seksi berambut pirang naik pesawat dan langsung duduk di kursi eksekutif. Seorang pramugari menegur secara halus agar dia pindah ke kelas ekonomi, karena tiket yang dipegangnya adalah kelas ekonomi. Meskipun beberapa orang aircrew lainnya juga ikut membujuk, gadis pirang ini tetap bergeming. Akhirnya sang pilotpun terpaksa turun tangan. Dengan ramah dia bertanya ingin kemana tujuan gadis ini. ”Saya mau ke Boston!”, jawab si gadis.
”Maaf mbak, kalau mau ke Boston duduknya di kelas ekonomi sana. Kalau kelas eksekutif ini jurusannya ke New York”, ujar si pilot. ” Oh ya, kenapa nggak bilang dari tadi”, kata si pirang sambil ngeloyor pindah ke kursi ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H