Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Apakah Opname RS Selalu Harus Diinfus?

25 Januari 2014   15:00 Diperbarui: 4 April 2017   17:30 14367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390648435371186577

[caption id="attachment_318170" align="aligncenter" width="544" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Kalau Anda besuk ke rumah sakit untuk menjenguk kenalan yang diopname, maka akan terlihat pemandangan yang khas di situ yaitu hampir 90 persen pasien yang berbaring di tempat tidur tersambung dengan selang infus. Pernahkah tercetus dalam benak kita, apakah orang yang diopname selalu harus diinfus? Jawabannya sebetulnya sangat gamblang yaitu “tidak selalu harus diinfus”. Namun memang telah terjadi pemahaman yang bias dalam mindset awam (baca: pasien) mengenai soal infus ini. Ini sama halnya dengan pola pikir masyarakat kita beberapa dekade yang lampau, yang selalu minta disuntik (dalam bahasa awam “minta jeksi” – dari kata injeksi) kepada dokter atau mantri bilamana berobat. Sepertinya tidak cespleng kalau berobat ke dokter dan tidak disuntik (misalnya hanya diberi resep obat untuk ditebus di apotik).

Sesungguhnya kita perlu memahami mengapa dan dalam kondisi apa seorang pasien perlu diberikan infus. Ada tiga alasan utama, cairan infus (bahasa Inggris: IV drops) ini diberikan yaitu (1) bila pasien mengalami dehidrasi/kehilangan cairan dan/atau komponen elektrolitnya, (2) bila pasien kehilangan darah dan (3) untuk memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah. Dehidrasi bisa terjadi bilamana pasien mengalami muntah dan diare, dan juga bilamana mengalami suhu badan tinggi sehingga terjadi penguapan cairan tubuh khususnya melalui keringat. Di luar tiga kondisi di atas, sebenarnya pasien tidak perlu diberikan infus.

Lantas bagaimana sikap dokter kalau pasien “menuntut” untuk diinfus? Di sinilah terjadi “ironi” dalam penatalaksanaan pasien yang diopname (atau dirawat mondok). Dokter justru mendukung dan menuruti kemauan pasien, karena pertimbangan non medis, bahkan tak jarang pertimbangan bisnis. Mengapa? Karena dengan memasang selang infus pada lengan atau tangan pasien, secara literal pasien ini sudah disandera tak mungkin lari/minggat dari rumah sakit. Jadi istilahnya blessing in disguise, pasiennya puas dirinya diinfus, dan rumah sakit mendapat “jaminan” pasien tak akan minggat sampai saatnya dia diizinkan pulang oleh dokter.

Sedikit pengetahuan bagi kita, cairan infus ini dibagi atas dua klasifikasi yaitu koloid dan kristaloid. Cairan koloid biasanya berwarna keruh dan lebih kental, sedangkan cairan kristaloid berwarna bening (clear). Cairan kristaloid ini dibagi lagi menjadi tiga macam yaitu isotonik, hipertonik dan hipotonik. Contoh cairan infus isotonik misalnya saline (NaCl 0,9 persen yang sama dengan konsentrasi cairan darah), contoh cairan infus hipotonik misalnya RL (Ringer Laktat) yang biasanya dipakai untuk pasien luka bakar. Cairan hipotonik tak dianjurkan diberikan pada pasien anak, karena kemungkinan terjadinya efek yang tak diinginkan (adverse effect).

Meskipun pemasangan infus ini aman, ada beberapa kondisi yang perlu diperhatikan dan terus dimonitor oleh perawat. Masalah yang terjadi antara lain, bilamana jarum infus ini terlepas (slip) dari lubang pembuluh darah vena, sehingga cairan infus akan menggenangi jaringan subcutan (di bawah kulit) dan dirasakan sakit dan membengkak yang dinamakan dengan infiltrasi. Untuk mencegah terjadinya infiltrasi, maka infus ini harus difiksasi kokoh dengan plester yang tak mudah terlepas. Masalah lainnya adalah phlebitis yaitu peradangan pada pembuluh darah vena yang menimbulkan bengkak dan rasa tak nyaman pada pasien. Untuk menghindarkan terjadinya phlebitis ini, gunakan ukuran jarum infus yang sesuai dengan keperluannya.

Masalah yang lain adalah infeksi pada pembuluh darah vena, yang disebabkan karena pemasangan infus yang tidak steril atau overload (pemberian cairan infus yang terlalu banyak). Dan yang perlu diwaspadai lainnya adalah air embolism (masuknya udara ke dalam aliran darah). Seperti diutarakan di atas, pemasangan infus juga dimaksudkan untuk memasukkan obat langsung ke pembuluh darah dan memang lebih praktis dibandingkan bila disuntikkan berkali-kali. Obat yang dimasukkan via infus antara lain antibiotika, steroid, obat kemoterapi, dan obat osteoporosis. Untuk mencegah hal yang tak diinginkan, pemasangan infus ini selama-lamanya 96 jam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun