Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Apakah Menyanyi Itu Bakat Alam atau Dapat Dipelajari?

26 Maret 2011   09:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:25 1198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1301134411354834029

(ilust howstuffworks.com)

Waktu saya masih duduk di bangku sekolah dasar ada seorang teman sekelas yang sangat terkenal. Dia terkenal bukan karena kepandaian otaknya atau keluwesan dalam bergaul, tetapi karena dia sama sekali tidak bisa menyanyi. Kalau dia dipanggil ke depan kelas oleh ibu guru untuk menyanyi (karena pada masa itu ada pelajaran seni suara yang akan diambil nilainya untuk diisikan di rapor), maka sudah dapat dipastikan murid-murid sekelas akan terbahak terpingkal-pingkal jungkir balik karena mendengar dia menyanyi. Sekalipun hanya menyanyikan lagu ‘Potong Bebek Angsa’ yang begitu mudahnya, nada-nada yang keluar dari mulutnya sangat fals dan cenderung monoton saja alias tidak ada pitch (tidak ada beda nada antara do, re, mi atau sol). Belum lagi menyangkut soal birama atau rhythm yang melompat-lompat, seakan-akan kita melihat orang yang menyanyi sambil menahan kebelet pipis. Mengenang kejadian berpuluh tahun silam, membuat saya bertanya apakah kemampuan menyanyi ini adalah bakat alamiah yang diberikan pada semua orang atau sesuatu yang harus dipelajari.

Sesungguhnya banyak analogi yang bisa dipertanyakan menyangkut perdebatan antara bakat alam (innate) versus yang harus dipelajari (learned) ini. Orang sering bertanya apakah kemampuan bahasa itu bakat atau bukan. Kemampuan melukis dan menggambar itu bakat atau bukan. Kemampuan bermain alat musik itu bakat atau bukan. Kemampuan menari itu bakat atau bukan. Kemampuan menulis itu bakat atau bukan. Bahkan kita sendiri seringkali merasa frustasi karena merasa tidak dikarunia bakat apa pun yang bisa kita banggakan. Perdebatan antara innate dan learned ini memang sudah berlangsung lama dan masing-masing kubu mempunyai argumentasi yang cukup meyakinkan di dalam mempertahankan keyakinannya. Sebagai contoh orang sering memperdebatkan soal kemampuan berbahasa asing. Anak Indonesia yang tinggal di negara berbahasa Inggris pada usia dini sudah mampu berbahasa Inggris dengan lancar, sekali pun dia belum mempelajari grammar ataupun pronunciation. Jadi bakat atau bukankah bahasa ini?

Pertanyaan yang lebih seru menyangkut soal menyanyi. Ada asumsi yang berlaku umum bahwa semua orang terlahir dengan kemampuan untuk menyanyi. Namun belakangan ini diakui bahwa ada sebagian orang yang benar-benar tidak mempunyai kemampuan untuk menyanyi. Orang seperti teman sekolah ini dikatakan menyandang kelainan amusia (nir-musik) atau dalam bahasa Inggris disebut dengan tone-deaf atau beat-deaf. Meskipun di sini dipakai istilah deaf orang yang bersangkutan sama sekali tidak tuli. Dia dapat mendengar dengan baik dan tingkat kecerdasannya pun tidak rendah. Kekurangan pada dirinya hanya tidak mampu mengenal nada (pitch) dan irama (beat). Beberapa tokoh dunia yang ternama tercatat mempunyai ’kelainan’ amusia ini, seperti Theodore Roosevelt (presiden AS), Ulysses S Grant (presiden AS), Che Guevara, Sigmund Freud (psikolog) dan Charles Darwin. Mereka sangat mumpuni dan hebat dalam segala hal, tapi jangan sekali-kali meminta mereka untuk menyanyi.

Sesungguhnya tone-deaf masih lebih ringan dibandingkan dengan amusia. Orang yang tone-deaf konon masih bisa mendengar dan menikmati lagu-lagu dengan baik, hanya mereka tidak mampu untuk bernyanyi. Orang yang amusia memang lebih ’parah’, karena dia sama sekali tidak bisa memilah tinggi rendahnya nada, sehingga yang masuk ke dalam telinganya hanya suara gaduh yang tidak ada indahnya. Untuk mereka ini mendengarkan musik merupakan siksaan batin yang sangat mengganggu. Karenanya, orang dengan amusia umumnya juga tidak ’berbakat’ menari. Kalau mereka disuruh menari mengikuti irama musik, gerakannya akan mirip orang yang berjalan di atas bara api.

Kembali berbicara soal kemampuan karena bakat atau karena belajar, mungkin harus diakui bahwa dalam kadar tertentu bakat mempunyai peran dalam kehidupan manusia. Seorang yang pandai menulis pasti didukung oleh bakat meskipun kemampuan menulis itu bisa dipelajari. Seorang yang pandai melukis dan menggambar pastilah didukung oleh bakat, sekali pun kemampuan menggambar itu juga dapat dipelajari. Bagaimana dengan pendapat anda sendiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun