Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Tulisan Bunga Rampai di Bulan Bahasa

27 Oktober 2017   14:07 Diperbarui: 27 Oktober 2017   14:12 1599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya menelisik ke "ksatrian" barangkali saja itulah ejaan yang dipakai, namun tetap hasilnya nihil. Saya hanya berhenti menemukan kata "kesatria" yang diberi definisi " 1. orang (prajurit, perwira) yang gagah berani; pemberani dan 2. kasta kedua dalam masyarakat Hindu; kasta bangsawan atau kasta prajurit". Sebagai bukti bahwa kata "kesatrian" ini masih tetap hidup (bukan kata yang mati), bilamana kita akan memasuki kompleks militer maka di gerbang selalu ada papan peringatan bertuliskan "Tata Tertib Masuk Kesatrian: Kaca mobil, jaket dan kacamata harap dibuka". Mudah-mudahan pada edisi KBBI mendatang kata "kesatrian" ini dapat dimasukkan.

Move On

Salah satu frasa bahasa Inggris yang paling masyhur dituliskan orang di medsos dewasa ini adalah "move on". Frasa ini nyaris tak kita kenal dan akrabi sebelum masa pilpres tahun 2014. Diawali dengan celotehan para selebriti pada acara infotainment televisi yang baru putus cinta atau baru bercerai dan menyatakan dia sudah "move on", frasa ini semakin semarak dipakai dalam wacana sehari-hari untuk saling mengejek dan mengolok di antara dua kubu yang berlawanan preferensi politik dan figur yang didukung. Nyaris tak ada hari berlalu tanpa kita membaca olokan "move on" di media sosial. Sebetulnya apa sih makna "move on" dan apakah dia tak ada padanannya dalam bahasa kita sehingga mau tak mau harus dipakai istilah asingnya?

Makna secara umum dari "move on" adalah "bergerak/berpindah dari suatu tempat/situasi/kondisi ke tempat/situasi/kondisi yang selanjutnya". Dan sesungguhnya kita sudah lama memiliki padanan yang bagus untuk "move on" ini yakni "beranjak". Ada sesuatu yang menarik dari kata "beranjak" ini. Dalam perjalanan waktu, kata "beranjak" ini secara salah kaprah dibelokkan menjadi "menginjak". 

Kita pasti pernah mendengar ucapan pembawa acara (MC) dalam suatu rapat atau perhelatan yang berkata "Menginjak ke acara berikutnya, kita akan mendengarkan sambutan dari Bapak Polan". Padahal yang benar seharusnya adalah "Beranjak ke acara berikutnya, kita akan mendengarkan .... dst". Saya memperhatikan kini sudah banyak MC yang menyadari kekeliruan menggunakan kata "menginjak" dan mulai diluruskan. Kembali soal "move on", kita bisa mempertanyakan mengapa orang lebih suka mengatakan "move on" ketimbang "beranjak"? Tak pelak, karena kata "move on" ini jauh lebih menggigit dan lebih greget ketimbang "beranjak". Jadi, kita terima saja kenyataan ini.

Gabener

Ada sesuatu yang sangat lucu dengan kelahiran kata "gabener" ini. Kita semua pasti sudah mafhum bahwa kata yang kental satire dan sarkasme ini adalah pelesetan dari kata "gubernur". Yang menjadi sasaran olok-olokan pelesetan "gabener" adalah Anies Baswedan yang baru dilantik sebagai Gubernur DKI. Kita tersenyum karena "gabener" kalau dilafalkan akan terdengar seperti "gak benar". Tapi apakah ini cuma sekadar pelesetan yang memang merajalela di dunia maya? Hasil penelusuran saya pada kamus bahasa Melayu (Malaysia) ternyata di sana ada istilah "gabenor". Definisinya kurang lebih sama dengan kata "gubernur" dalam bahasa kita. Kalau disandingkan antara "gabener" dan "gabenor" alangkah mirip pengucapannya. Apakah gara-gara pelesetan satiris ini, nanti ejaan kita berubah dari "gubernur" menjadi "gabener", hanyalah rumput yang bergoyang dapat menjawabnya.

Jawapan dan Kewajipan

Ada dua kata dalam bahasa kita yang "lain dieja, lain diucapkan". Dua kata tersebut adalah "jawaban" dan "kewajiban". Saya yakin 98 persen dari kita dalam ujaran lisan akan melafalkannya dengan "jawapan" dan "kewajipan". Terlebih pada mereka yang mempunyai lidah Jawa pasti akan mengucapkannya seperti itu. Saya lantas mencari pembanding bagaimana dengan ejaan dari bahasa Melayu/Malaysia. 

Ternyata mereka lebih supel dan akomodatif. Mereka merestui penulisan "jawapan" dan "kewajipan" sekalipun kata dasar keduanya tetap adalah "jawab" dan "wajib". Apakah ini anomali yang perlu dipolemikkan? Tentu saja tidak. Bahasa bukanlah ilmu eksakta, jadi kalau banyak inkonsistensi ya tak menjadi soal. Itulah pendapat Ivan Lanin, seorang pemerhati bahasa dan saya juga mengamininya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun