Ingatan saya melayang mundur ke masa tahun 70an. Saya termasuk pelanggan kantor pos yang loyal, karena saya mempunyai sejumlah “pen friends” (sahabat pena) baik di dalam maupun di luar negeri. Di sinilah lalu lintas baku berkirim surat saling timbal balik terjadi. Saya menyimpan cadangan perangko cukup banyak di rumah, sehingga manakala surat sudah siap dilayangkan, saya tinggal menempelkan perangkonya. Dan surat ini cukup saya masukkan ke dalam kotak surat (bahasa Belandanya brievenbus) yang ada pada pinggiran jalan di dekat rumah saya. Dijamin surat akan diangkat oleh petugas pos pada hari itu juga untuk nantinya disortir sesuai dengan kota tujuan di kantor pos. Dan dari pengalaman saya dahulu berkorespondensi (saling berkirim surat) belum pernah ada surat yang hilang. Kalau kita mengirim surat dengan mencemplungkannya ke dalam kotak surat yang ada di pinggir jalan di zaman sekarang, bisa-bisa surat ini mendekam berminggu-minggu tak diangkat oleh petugas pos. Saya memperhatikan kotak surat pinggir jalan ini nyaris sudah tak eksis lagi dan di kota saya mungkin tinggal dua atau tiga unit saja. Itu pun hanya sekedar pajangan saja laksana hidran bercat merah kusam di sudut jalan yang tidak pernah dipakai oleh pemadam kebakaran (karena airnya juga kagak ada lagi) dan cuma jadi saksi bisu sejarah masa lalu yang dilupakan orang.
Kalau dikilas balik, alangkah nelangsanya kita masa itu. Perangko yang sudah sangat murah, kalau bisa diakali bagaimana agar bisa dipakai ulang. Teman saya yang rajin bersurat-suratan dengan pacarnya di luar kota, punya kiat yang jitu untuk mengakali agar stempel pada perangko ini bisa dihapus, sehingga dia dapat dipakai ulang. Caranya adalah melapisi perangko tersebut dengan lilin. Dengan akal bulusnya, dia bisa saling berkirim surat dengan pacarnya memakai perangko yang sama beberapa kali.
Cara menempelkan perangko dan juga mengelem amplop sangat unik waktu itu. Memang perangko dan amplop ini sudah diberi lem kering sehingga kita tinggal menjilatnya supaya basah dengan air liur kita. Tapi tak jarang perangko dan amplop ini kelupaan dibubuhi lem kering, sehingga mau tak mau kita harus berikhtiar mencari lem pengganti. Cara yang paling handy (siap di tempat) adalah memakai buliran nasi lembut yang ada di dandang (periuk). Nasi ini dipenyet pada bagian belakang perangko sehingga berfungsi menyerupai lem. Atau bisa juga memakai tajin (air sagu alias kanji) yang berlendir dan dahulu kala sering dibubuhkan pada pakaian yang dijemur agar baju dan celana yang diseterika bisa licin dan necis tak mudah kusut.
Mengapa saya mengatakan bahwa kantor pos Indonesia sudah mengingkari dirinya sendiri? Karena dari pengalaman pribadi saya, ternyata pos di luar negeri masih tetap hidup dan masih banyak digunakan orang, tentunya dengan memakai perangko sebagai portonya. Waktu saya berziarah ke Vatikan dan memesan piagam (sertifikat) berkat dari Sri Paus, mereka mengirimkannya ke alamat saya dengan perangko. Beberapa bulan yang lalu, saya juga menerima kartu ucapan Natal dari Kanada yang dibubuhi perangko. Mengapa di negeri kita kok berkirim surat dengan menggunakan perangko dianggap kolot, katrok atau kikir? Petugas pos di tanah air kita sudah selayaknya diindoktrinasi tak boleh melarang orang untuk memakai perangko sebagai moda mengirim surat. Apalagi dengan menakut-nakuti bahwa kalau pakai perangko surat tidak dijamin akan sampai tujuan atau bahkan bisa hilang. Ini kalau kantor pos masih konsisten dan konsekuen mengakui perangko sebagai alat pembayaran sah untuk pengiriman surat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H