[caption caption="Ilustrasi: Kata mempertakut tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. | KOMPAS.COM/DIMAS WAHYU"][/caption]Pada suatu hari, saya membaca sebuah berita yang di dalamnya mengandung kata “patungan”. Kita sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk memahami apa yang dimaksudkan. Kurang lebih maknanya “mengumpulkan uang bersama-sama untuk membeli sesuatu barang atau untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu”. Namun yang menggelitik rasa ingin tahu kita adalah mengapa ada kata “patung” di sini. Apa kaitannya “patung” dengan “mengumpulkan uang bersama-sama”?
Istilah “patungan” bukan satu-satunya kata yang membikin kita penasaran. Kalau jaringan kulit kita menebal dan mengeras, maka orang akan mengatakan “kapalan”. Dalam bahasa Inggris dinamakan dengan “callus”. Kita pun jadi bertanya apa kaitannya “kapal” dengan “kulit yang menebal dan mengeras”. Bisa saja kita merekayasa bahwa kulit sedemikian mempunyai tekstur seperti kayu yang menjadi bahan baku pembuat kapal, namun penjelasan itu akan diterima dengan wajah skeptis.
Orang yang berkelakuan tercela dan jahat sering kita umpat dengan kata “bajingan”. Kata umpatan ini setara kerasnya dengan “bandit”. Kembali kita bertanya apa korelasi antara “bajing” (sejenis tupai yang lucu dan imut-imut) dengan perilaku yang penuh kebengisan dan keberangasan. Saya coba menelusuri kalau-kalau kata “bajingan” ada tali-temali dengan kata asing, namun sejauh ini hasilnya masih nihil. Dalam bahasa Inggris ada kata “scoundrel” atau “rascal” yang rasanya tak berkaitan dengan satwa bajing ini.
Bilamana kita merasa betah dan nyaman berada pada sesuatu rumah dan tempat, maka dikatakan dengan “kerasan”. Nampaknya ini bahasa Jawa yang diserap ke dalam bahasa Indonesia. Namun tetap saja menjadi tanda tanya di hati, apakah hubungannya antara “keras” dengan “merasa senang dan betah”. Kalau kita cari padanan dalam bahasa Inggris biasanya dikatakan dengan “feel at home”.
Orang yang menyamar sebagai aparat negara atau petugas pemerintahan dengan niat menipu disebut dengan “gadungan”. Kita sering membaca di suratkabar ada polisi gadungan, tentara gadungan, dokter gadungan dsb. Lantas apa kaitan antara “gadung” (yang merupakan sejenis buah umbi-umbian) dengan “penipu yang menyamar”. Saya sama sekali belum bisa menemukan korelasinya.
Pada iklan jamu sering kita membaca beragam jenis nama jamu yang dimulai dengan kata “galian”. Ada galian singset, ada galian putri, ada galian rapet. Sampai sekarang saya belum menemukan hubungan antara kata “gali” (yang maknanya ‘membuat lubang’) dengan ramuan jamu yang umumnya dipakai oleh kaum hawa itu. Demikian pula dengan istilah “cekatan” yang bermakna “trampil” (dalam bahasa Inggris disebut ‘dexterous, skillful, handy’). Dalam bahasa Jawa “cekat” bermakna “melekat atau menempel dengan erat”. Lalu, apa hubungan “melekat dengan erat” dengan “tangan yang trampil dan gesit”?
Ada serangkaian kata-kata lain yang sempat saya catat dengan “reasoning” yang tidak nyambung, seperti di antaranya “serabutan” (apa hubungan dengan ‘serabut’), “talangan” (apa hubungan dengan ‘talang’), “kalangan” (apa hubungan dengan ‘kalang’), “selatan” (apa hubungan dengan ‘selat’), “kemudian” (apa hubungan dengan ‘kemudi’), “ulangan”, “lebaran” (apa hubungan dengan ‘lebar’).
Kalau di antara sahabat Kompasianers ada yang mempunyai referensi tentang etymologi (asal-usul) istilah-istilah yang “aneh” di atas, tentu dengan tangan terbuka saya terima. Bahasa bagi saya laksana gadis cantik yang menyimpan sejuta misteri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H