Ilustrasi - Alfabet (Shutterstock)
Saya menulis artikel pendek ini sekadar untuk bertanya kepada Pusat Bahasa bertalian dengan penghilangan huruf “h” pada pedoman ejaan sejumlah kosakata Indonesia. Saya mulai saja dengan kata “hutang” yang kini menurut ejaan baku dieja dengan “utang”. Sejumlah verba (kata kerja) juga mengalami peniadaan alfabet “h”, seperti kata “hadang” menjadi “adang”, “himbau” menjadi “imbau”, “hisap” menjadi “isap”, “hunjuk” menjadi “unjuk”. Padahal, sedari dulu kita sudah terbiasa menuliskan frasa “menghadang musuh”, “menghimbau kepada masyarakat”, “menghisap asap rokok” dsb. Yang lebih repot lagi, setidaknya menurut saya pribadi, Pusat Bahasa tidak mempunyai standar yang tegas di dalam peniadaan huruf “h” pada ejaan kosakata ini. Ada unsur tebang pilih di sini, dan alhasil kita dibuat bingung. Kata ”hantar” misalnya tidak dikonversi menjadi “antar”, sehingga ejaan yang baku sampai sekarang adalah “penghantar”, bukan “pengantar”. Contoh lainnya, “hirup” tidak dikonversi menjadi “irup”, sehingga penulisan yang baku adalah “menghirup udara segar”, bukan “mengirup udara segar”.
Belum lagi berbicara tentang sejumlah kata “klasik” tapi cantik yang sudah kehilangan pesonanya karena dipereteli huruf “h”nya. Anda dari generasi tua tentu masih mengingat pengejaan kata-kata seperti “sahaya, sahaja, baharu, cahari, tahadi, bahagian, perlahan”. Saya masih nostalgik dengan ungkapan seperti “hamba sahaya”, “orang yang sangat bersahaja”, “suara pembaharuan”, “mata pencaharian”, “pembahagian harta” dsb. Kata-kata yang indah ini di dalam khazanah bahasa Indonesia nyaris punah tergantikan dengan “saja, saya, baru, cari, tadi, bagian, pelan”. Lenyap sudah suku kata “ha” di sini. Padahal, kalau kita menilik pada khazanah bahasa Malaysia kontemporer, kata-kata di atas masih tetap dipakai dan tetap hidup dalam wacana tulis. Kata “kabar” pada ejaan Indonesia misalnya, masih ditulis dengan “khabar” pada ejaan Malaysia.
Kata lain yang menjadi korban penyunatan huruf “h” adalah “handal” yang kini dibakukan menjadi “andal”. Padahal, saya sudah sangat sreg dengan ungkapan “penampilan yang handal”. Juga ada lagi ekspresi “saya tak mau berhandai-handai” yang menurut KBBI seharusnya dituliskan dengan “saya tak mau berandai-andai”. Saya masih teringat dengan lirik lagu lawas yang dimulai dengan lantunan “Handaikan seorang kan datang. Menghibur hati sedang lara”. Anda masih terbiasa menuliskan kalimat “Kepada para hadiran, kami persilahkan untuk menikmati makan malam”? Penulisan “silah” ini pun sudah tidak baku lagi menurut Pusat Bahasa, dan harus ditulis dengan “sila”. Jadi, Anda harus menuliskan dengan “Kepada para hadirin, kami persilakan ....”. Pun demikian dengan kata “rapih”, sesuai dengan pedoman KBBI yang mutakhir harus dieja dengan “rapi”. Ungkapan yang cukup akrab bagi kita “hingar bingar” harus ditulis dengan “ingar bingar”.
Ada sesuatu yang memang sepele, namun cukup membuat saya surprised bertalian dengan penghilangan alfabet “h” ini. Saya membuka KBBI untuk mengetahui bagaimana penulisan kata seru “lho” yang benar. Dalam wacana medsos, sangat sering kita menulis ungkapan “Lho, kenapa kok begitu?” atau “Lho, jangan begitu, dong”. Ternyata, kata ini termasuk yang “disunat” huruf “h”nya, karena yang baku menurut KBBI adalah “lo” dan diberi definisi “kata seru menyatakan heran, terperanjat dsb”. Bahkan kalau kita mencari lema “lho” di KBBI tidak akan ditemukan. Untuk urusan yang satu ini, mungkin banyak orang yang sependapat dengan saya membangkang dengan panduan baku KBBI. Kita terbiasa dengan penulisan “lho” dan tidak rela diganti dengan “lo”.
Sebagai penutup, kiranya Pusat Bahasa bisa memberikan sedikit argumentasi mengapa ada kosakata yang dilenyapkan huruf “h”nya dan ada yang tetap dipertahankan huruf “h”nya. Paling tidak, agar kita sebagai pengguna bahasa tidak kebingungan dengan “kebijakan” Pusat Bahasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H