Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Wajarkah Gubernur Ahok Marah-marah kepada BPK?

9 Juli 2015   12:59 Diperbarui: 9 Juli 2015   13:05 3150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di media online dan media cetak, banyak terbaca berita Gubernur Ahok yang “marah-marah” kepada BPK, karena hasil audit terhadap kinerja Pemda DKI Jakarta oleh BPK hanya diberi predikat WDP (Wajar Dengan Pengecualian) atau nilai yang kurang baik. Konon, hasil audit BPK ini ada 70 temuan pelanggaran. Ahok merasa geram, karena dari penuturannya sendiri, Pemda Banten yang jelas-jelas banyak kasus korupsi dan penyelewengan, malah mendapat nilai baik (WTP = Wajar Tanpa Pengecualian) oleh BPK. Dan lantas terjadilah saling tarik urat leher di antara keduanya dengan segala jurus-jurus argumentasinya.

Padahal, menurut saya, jawabannya simple saja. Ahok dikasih nilai kurang oleh BPK karena “pemberian amplopnya kurang tebal” atau mungkin malah tidak memberi amplop sama sekali. Mereka yang berkecimpung di institusi pemerintahan sudah sangat paham dengan praktik ini. Saya yang pernah menjabat sebagai Kepala Rumah Sakit TNI-AD sudah cukup makan asam garam menghadapi pemeriksaan lembaga inspektorat ini. Di institusi TNI, kegiatan ini dinamakan dengan “wasrik” (pengawasan dan pemeriksaan). Lembaga yang memeriksa ini cukup banyak, mulai dari Ir Kodam, Irdit Kesad, Irjenad, Irjen TNI, Irjen Dephankam, BPK dsb. Jadi, dalam setahun kami bisa diperiksa oleh enam sampai tujuh badan inspektorat.

Apa “protap” dan “kewajiban” tidak tertulis kami sebagai obyek terperiksa? Pertama, kami harus menanggung segala akomodasi (hotel dan konsumsi) selama tim inspektorat berada di wilayah kami. Juga tidak jarang, kami diharuskan untuk menanggulangi tiket pesawat anggota tim yang akan pulang kembali ke Jakarta. Padahal secara gamblang, tim ini sudah mendapatkan biaya transportasi pulang pergi plus biaya akomodasi (hotel) plus uang saku (lump-sum). Tapi “kewajiban” kami belum berhenti sampai di situ. Ada “protap” lain yang lebih penting lagi, yaitu memberikan “amplop” kepada seluruh anggota tim pemeriksa. “Amplop” ini lebih bagus kalau diserahkan sebelum tim melakukan exit briefing (taklimat akhir), karena sudah bisa dipastikan temuan-temuan pelanggaran akan sedikit dan ringan saja.

Apa yang akan terjadi, kalau kita bersikeras tidak mau memberikan “amplop” atau memberikan amplop dengan isi ala kadarnya saja? Sudah bisa dipastikan juga, kita akan dipersulit dan diganjar dengan hasil temuan-temuan yang masuk kategori pelanggaran berat dan banyak jumlahnya. Temuan-temuan ini bukan sekadar berisi teguran administratif, namun juga berisi perintah bagi pejabat penanggungjawab untuk menggantikan (mengembalikan) uang yang dinilai oleh mereka sebagai kerugian negara dan jumlahnya bisa mencapai puluhan sampai ratusan juta rupiah. Pada temuan BPK atas kinerja Gubernur DKI Jakarta, malah disebut kerugian sebanyak 2,16 triliun rupiah. Jadi, saya sebagai kepala rumah sakit, tentu tidak bisa berkutik menghadapi “teror mental” seperti ini. Sekalipun, saya merasa telah mengelola administrasi keuangan dengan baik dan jujur, jangan coba-coba menantang tidak memberi “amplop” tersebut. Kenapa? Karena tim inspektorat mempunyai segudang senjata perangkat lunak (undang-undang, peraturan menteri keuangan dsb) yang bisa dipakai untuk menjerat kita (sekalipun kita tidak melakukan korupsi). Lihatlah contohnya pada Gubernur Ahok, sampai harga-harga sayur dipersoalkan oleh tim BPK.

Jadi, akan halnya silat lidah antara Gubernur Ahok dengan pejabat BPK menurut saya ini hanyalah omong kosong untuk mengelabui pandangan publik saja. Padahal ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa selama ini badan inspektorat harus “disangoni” kalau mau “aman”. Jadi, Ahok sebetulnya tak perlu bertanya, mengapa di provinsi lain yang banyak kasus korupsinya, malah mendapat nilai bagus oleh BPK. Jawabnya bukan ada pada rumput yang bergoyang, tapi pada amplop yang tebal. Kalau Ahok tidak percaya, silakan dicoba tahun depan kasi amplop yang tebal, dijamin akan diberi predikat WTP terbaik oleh BPK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun