Waktu bersekolah di bangku kelas 6 SD, sekitar tahun 1964an, pada pelajaran Bahasa Indonesia kita disuruh menghapalkan nama-nama penulis Indonesia beserta karya sastranya. Saya masih ingat hingga sekarang, nama Suman Hasibuan dengan ’Mencari Pencuri Anak Perawan’, Nur Sutan Iskandar dengan ’Katak Hendak Menjadi Lembu’, Merari Siregar dengan ’Azab dan Sengsara’, Abdul Muis dengan ’Salah Asuhan’, Sutan Takdir Alisyahbana dengan ’Tak Putus Dirundung Malang’ dan ’Layar Terkembang’, Achdiat Kartamihardja dengan ’Atheis’, Idrus dengan ’Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma’ dan Hamka dengan ’Dibawah Lindungan Ka’bah’.
Meskipun sangat hapal dengan nama pengarang-pengarang besar itu, boleh dikatakan saya tak pernah membaca buku mereka, karena memang pada zaman itu buku tersebut sudah tak dicetak ulang. Keinginan selalu menggebu-gebu memperoleh buku-buku ini, namun apa daya tak satu pun toko buku yang memiliki stoknya. Sampai pada suatu hari, di hari ulang tahun saya, saya mendapat kado yang luar biasa dari teman-teman sekelas yaitu sebuah buku berjudul ’Kawan Bergelut’ karangan Suman Hasibuan. Buku ini berisi sejumlah cerita pendek yang humoris. Kendati bukan buku untuk dikonsumsi oleh anak-anak sebetulnya, namun pada saat itu saya merasakan kenikmatan membaca yang tak terperikan.
Berpuluh tahun kemudian, berkat adanya internet, saya menemukan kembali salah satu cerpen dalam buku ’Kawan Bergelut’ yang berjudul ’Salah Sangka’. Nostalgia saya merekah kembali saat membaca cerpen yang aslinya masih menggunakan ejaan lama ini. Saya ingin men-share cerpen ini, khususnya bagi generasi tua sebaya yang mungkin juga dulu pernah membaca karya Suman Hasibuan ini. Ejaannya saya sesuaikan dengan EYD untuk memudahkan kita membacanya. Selamat menikmati ’makanan rohani’ ini.
Salah Sangka
Dusun Limbayung letaknya agak ke udik-udik, jadi terasinglah dari dunia megah. Dusun itu tidak berapa besar; jumlah rumahnya tak lebih dari tigapuluh buah, tetapi penduduknya rukun dan damai, menyebabkan penghidupan mereka itu makmur jua.
Tersebutlah seorang guru mengaji, bernama Malim Bungsu. Konon ilmunya tak berapa dalam, akan tetapi kajinja baik. Dia kuat beribadah, selalu merendahkan diri dan pada waktu jang terluang ia selalu tafakur dan zikir. Oleh karena itu ia amat disegani oleh isi kampung itu. Maka iapun dapat panggilan ”tuan guru”.
Adalah tuan guru itu beranak empat orang, keempat-empatnya perempuan. Sebagai kebiasaan manusia, bila anaknya perempuan saja, maka inginlah hatinya hendak beranak laki-laki. Tiap-tiap ia lepas sembahyang tiadalah ia khali daripada berdoa ke hadirat Habiburrahman, mudah-mudahan Yang Maha Pengasih itu mengurniakan dia anak laki-laki.
Dengan kodrat Ilahi, isterinyapun hamillah. Mulai dari saat itu, makin kuatlah tuan guru tadi beribadah. Kadang-kadang berjam-jam lamanya ia khalwat, seorang diri berdoa dengan khusuknya, senantiasa dipohonkannya supaya ia beroleh anak laki-laki.
Sebulan lepas, sebulan datang, maka saat isterinya itupun sampailah. Petang harinya isterinya itupun mulai merasa sakit-sakit.
Sebagai orang yang disegani, tak usahlah tuan guru itu berpayah-payah menjemput bidan. Demikianlah pada malam itu, orang tua-tua dan bidan-bidan, sudah banyak di rumah itu. Sakit perempuan itu makin terasa, jangkanya tak menjelang besok, lahirlah anaknya.
Sesudah sembahyang isya, Malim Bungsu, asjik mendoa memuji Tuhan, memohonkan rahmatnya. Ia khusuk benar, sedikitpun tidak beranjak dari tikar sembahyangnya. Hari sudah jauh larut malam, setengah perempuan-perempuan tua itu sudah tidur, tetapi Malim Bungsu masih mengaji mendoa jua.
Tersebut pula seorang orang hukuman lari dari tutupan. Sudah beberapa hari ia mengembara didalam hutan hendak menyembunyikan dirinya. Akan tetapi perutnya memaksa ia keluar, mencuri ke rumah orang.
Pada malam itu, iapun sampai ke dusun itu. Entah karena rumah tuan guru itu disangkanya rumah orang berada, entah karena berketepatan sadja – wallahu alam, tetapi pada malam itu mulailah ia mencungkil jendela rumah itu, berkebetulan benar bilik perempuan yang hendak bersalin itu.
Jendela itu terbuka. Pencuri itu meninjau ke dalam, sedang tuan guru masih mendoa jua di ruang luar. Perempuan-permpuan yang ada dalam kamar itu tersentak bangun, lalu memekik minta tolong kepada tuan guru itu:
”Laki-laki, tuan! Laki-laki, tuan!” teriak mereka itu.
”Alhamdulilah – alhamdulilah!” jawab tuan guru itu mengeraskan doanya.
”Laki-laki, tuan! Laki-laki, tuan!” teriak perempuan-perempuan itu sekali lagi.
”Alhamdulilah, syukur”, ujar tuan guru itu. ”Ya Allah. Engkau perkenankan kiranya pintaku!”
Pencuri itu meluncur lari.
Di ruang tengah kedengaran bunyi langkah tuan guru, mulutnya komat-kamit menyerukan, ”Alhamdulilah, syukur – syukur – syukur!”
Ia masuk ke bilik itu, hendak melihat anaknya yang laki-laki itu. Betapa takjubnya memandang isterinya masih macam biasa jua, dan anaknya yang disangkanya laki-laki itu tak tampak, sedang isterinya menyumpah-nyumpah.
”Mana anak kita?” tanyanya.
”Sudah lari”, jawab isterinya bersungut-sungut.
* dari buku ’Kawan Bergelut’ terbitan tahun 1938.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H