Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

(Nostalgia) 'Kapper' alias Tukang Cukur

27 November 2013   14:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:37 1022
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kala saya masih kecil, ibu saya menyebut tukang cukur ini dengan kapper yang merupakan istilah Belanda dengan makna yang sama. Kapper ini biasanya tukang gunting rambut untuk pria, sedangkan untuk wanita dahulu disebut dengan kapsalon. Kami sekeluarga punya kapper langganan yang barangkali sudah mencukur bapak saya sebelum beliau menikah dan letaknya di jalan Peneleh.

Bila sudah tiba saatnya rambut saya harus dipangkas, ibu selalu tak lupa berpesan agar potongan rambutnya jangan ‘mbatok’. Potongan rambut ‘mbatok’ ini memang mirip yang disandang tiga pelawak pandir “The Three Stooges” yang filmnya tenar waktu itu. Kenapa disebut ‘mbatok’, karena potongan mirip dengan batok (tempurung kelapa) yang ditangkupkan di atas kepala kita, lantas rambut yang berada di luar batok itu saja yang digunting oleh si kapper.

Setelah bertengger di kursi putar mirip kursi dokter gigi, kita akan dikemuli dengan kain putih yang panjang. Pak kapper akan menanyakan belahan sisiran rambut kita ada di sebelah kiri atau kanan (kadang-kadang ada juga yang di tengah, tapi jarang). Nama belahan rambut ini kalau tak salah ingat adalah scheiden. Ini penting, karena antara saya dan adik laki saya mempunyai scheiden yang berbeda. Saya di sebelah kanan dan dia di sebelah kiri. Beda yang lain yang dipakai sebagai patokan, saya hanya mempunyai satu ubun-ubun (bahasa Jawa: unyeng-unyeng), sedangkan adik laki saya mempunyai dua ubun-ubun. Kata tetua zaman dulu, kalau anak unyeng-unyeng-nya ada dua, pasti ‘mbeling’ (nakal) tetapi cerdik. Entahlah apakah sudah pernah dibuat riset tentang korelasi antara double fontanelle ini dengan nakal tapi cerdik.

Di masa itu, alat pemangkas masih manual, bukan dengan tenaga listrik seperti sekarang. Kami menyebutnya dengan ’kecrek-kecrek’ dan tak jarang rambut tahu-tahu terjepit di antara bilah-bilah pisau, sehingga menimbulkan rasa ’nyelekit’. Mungkin dari pengalaman di kursi pak kapper ini, kemudian lahir idiom orang Surabaya ”omongannya nyelekit” (ucapannya membuat hati seperti tertusuk duri). Setelah beberapa kali terjingkat karena celekitan perangkat kecrek-kecrek ini, lantas pak kapper memakai gunting. Gunting ini seingat saya juga ada dua macam, yaitu yang mata guntingnya tajam dan yang tumpul. Entah apa fungsi gunting tumpul ini, tetapi biasanya dipakai sebagai finishing touch dan berasa seperti dipijat-pijat ringan.

Tiba saatnya si tukang pangkas menggunakan pisau kerok yang mirip pisau lipat besar. Sebelum pisau kerok ini menjalankan tugasnya, di sekitar tengkuk saya disaput air sabun dengan kuas besar. Tujuannya agar kerokan di seputar tengkuk dan daun telinga licin dan mulus. Sesekali pak kapper mengasah pisau kerok ini pada lempengan elastik yang berwarna hitam mengilap (sampai sekarang saya tidak tahu dibuat dari bahan apa lempengan lentur pengasah pisau cukur ini). Selesai mengerok lantas sekeliling tengkuk saya dibubuhi dengan bedak merek Mars.

Prosedur berikutnya adalah hal yang paling saya takutkan. Tengkuk saya di-massage dan tanpa saya antisipasi, kepala saya ’dipatahkan’ ke kiri dan ke kanan sampai berbunyi ’krak’. Memang nothing harmful happens to me, saya tetap hidup dan aman-aman saja. Tetapi ibu saya paling anti dengan bonus ‘mematahkan leher’ ini, sehingga selalu wanti-wanti pada ayah yang mengantarkan saya ke kapper untuk mengingatkan agar kepala saya tidak dipilin. Tapi dasar ini sudah otomatis pekerjaannya, selalu saja ia lupa dengan pesan sponsor dan lagi-lagi leher saya dipatahkan.

Setelah semua rampung dan saya turun dari kursi barbershop ini, uang kertas dibayarkan sesuai dengan tarif yang terpampang di tembok (aneh juga tarif dewasa lebih mahal daripada anak-anak, padahal anak kecil justru lebih sulit dipangkas karena banyak bergerak). Dan pak kapper tak lupa melakukan ritual ‘menebar’ lembaran uang kertas ke atas kursi pangkasnya beberapa kali sebelum memasukkan ke dalam sakunya. Ritual menebar uang ke atas barang dagangan, sering juga saya amati kalau ibu berbelanja buah-buahan di pasar. Mbok-mbok penjaja buah-buahan ini akan ’menahbiskan’ uang kertas ini di atas mangga, pisang, jambu dsb sebelum menyelipkan ke dalam kutangnya. Tentunya ini dengan harapan bahwa dagangannya akan laku keras karena sudah ketularan duit yang dibayarkan pelanggannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun