Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

KBBI Ternyata Tidak Konsisten dengan Kaidahnya

3 Februari 2014   11:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:12 2143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_320104" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan rujukan tertinggi bagi kita semua untuk mencari tahu definisi, pengejaan baku, sinonim dan bentukan kata turunan. Setiap kali terdapat silang pendapat (dissent) terhadap suatu istilah pada wacana publik, maka KBBI inilah yang menjadi ”hakim agung” dengan titahnya yang berwibawa. Benarkah KBBI tak mungkin salah bak pemeo Inggris the king can do no wrong? Benarkah KBBI selalu konsisten dengan kaidah bahasa yang dibuatnya sendiri?

Ketidakkonsistenan ini setidaknya saya jumpai pada pedoman pengejaan yang baku dari penyerapan kata asing yang mengandung unsur “au” dan “ae”. Saya mulai dahulu dengan penulisan “paedofil” yang terbaca di suratkabar cetak maupun digital. Ternyata penulisan “paedofil” memang satu-satunya yang ada di KBBI (berarti yang baku). Saya kemudian membuka kembali ke halaman belakang KBBI tentang pedoman penyerapan kata-kata asing ke dalam bahasa Indonesia. Disebutkan di situ, bahwa istilah asing dengan unsur “ae” tetapi mempunyai varian pengejaan dengan “e”, maka diserap menjadi “e”. Contohnya “haemoglobin” ada variannya “hemoglobin”, maka diserap menjadi “hemoglobin”. Sebaliknya istilah dengan unsur “ae” yang tak ada variannya, maka diserap ke bahasa Indonesia tetap dengan “ae”, contohnya “aerob” diserap menjadi “aerob”, “aerobic” diserap menjadi “aerobik”.

Namun justru di sinilah letak ketidakkonsistenan KBBI dalam menuliskan “paedofil”. Pada kamus ekabahasa Inggris mana pun penulisan “paedophile” selalu disertai dengan variannya “pedophile”, sehingga bilamana KBBI konsisten dengan aturannya sendiri, seharusnya kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan “pedofil”, bukan “paedofil”. Demikian pula halnya dengan istilah “aesthetic” yang bervarian “esthetic”, seharusnya diserap menjadi “estetika” (di KBBI masih mendua ditulis “aestetika” dan “estetika” tanpa penjelasan mana yang baku).

Ketidakkonsistenan yang lebih “parah” terjadi pada penyerapan kata asing yang mengandung unsur “au”. Pada pedoman penyerapan kata asing dinyatakan bahwa kata asing yang mengandung unsur “au” diserap ke dalam bahasa Indonesia tetap “au”. Dicontohkan di situ “audiogram” menjadi “audiogram”, “hydraulic” menjadi “hidraulik”, “caustic” menjadi “kaustik”. Mencla-mencle (tak konsisten) utamanya saya jumpai pada kata-kata yang mengandung prefiks (awalan) “auto”, karena setengahnya diserap menjadi “auto” dan setengah lainnya menjadi “oto”.

Lihatlah contoh-contoh berikut ini: “automotive” menjadi “otomotif”, “autonomy” menjadi “otonomi”, ”autobus” menjadi ”otobus”, ”automatic” menjadi ”otomatis”. Namun pada kamus yang sama saya jumpai ”autopsy” menjadi ”autopsi”, ”autobiography” menjadi ”autobiografi”, ”autoclave” menjadi ”autoklaf”, ”autodidact” menjadi ”autodidak”. Memang masih dapat dijumpai kata ”otopsi” atau ”otobiografi” di sini, namun disertai kode panah yang menyatakan bahwa ini adalah ejaan yang tidak baku. Tentu kita menjadi bingung tak habis pikir, bagaimana mungkin dua kata yang sama-sama mengandung unsur ”auto”, bisa diserap dengan dua cara yang berbeda.

Tadinya saya berasumsi bahwa “otopsi”lah yang baku, bukan “autopsi”, demikian pula “otobiografi”lah yang baku, bukan “autobiografi”. Tapi apa daya, KBBI sudah bertitah dan semua orang harus menurut. Tapi saya masih berharap ada revisi pada penerbitan KBBI mendatang, karena bukankah ada pepatah “tak ada gading yang tak retak” (bahasa Inggris not infallible). Saya menulis ini khususnya karena sangat terganggu dengan pengejaan “autopsi” dan “paedofil” di media massa karena mengekor pada KBBI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun