[caption id="attachment_248173" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Tanpa kita sadari, bahasa Indonesia sudah banyak mengalami perubahan penampilan dibandingkan dengan era tahun 1950an. Menurut saya, di zaman itu, gaya bahasanya lebih cantik dan lebih mengena di hati. Barangkali pada masa itu, pengaruh bahasa Melayu masih sangat kental merasuk pada gaya penulisan wartawan dan sastrawan dan secara pelan tapi pasti ‘genre’ ini menyurut dan meluntur. Bahasa Indonesia yang kita geluti sekarang ini terasa lebih lugas (zakelijk) dan lebih harfiah (letterlijk). Berikut akan saya coba ungkit kenangan manis penulisan bahasa kita tempo dulu yang kini nyaris tak dikalamkan orang lagi.
‘Alangkah girang hatinya, mengetahui sang istri telah berbadan dua’. Idiom ‘berbadan dua’ sebagai ungkapan ‘hamil’ terasa begitu puitis. ‘Pembegal itu akhirnya dijebloskan ke hotel prodeo’. Kata Latin prodeo (secara harfiah: untuk Tuhan) bermakna ‘gratis’, dan metafora ‘hotel gratis’ tentu dimaksudkan dengan ‘penjara’. Rasanya tak pernah lagi saya membaca kiasan ‘hotel prodeo’ ini ditulis pada media massa kontemporer. ‘Hari belum begitu larut malam, namun dia telah beranjak ke pulau kapuk’. Aduhai, sangat nostalgik mendengar perumpamaan ‘pulau kapuk’ ini. Bagi generasi muda yang mungkin masih asing dengan istilah ini, saya jelaskan bahwa ‘pulau kapuk’ adalah ‘kasur’, jadi ‘pergi ke pulau kapuk’ berarti ‘tidur’.
‘Skandal yang menghebohkan itu nampaknya akan dipetieskan’. Baru beberapa waktu berselang saya ‘menemukan’ bahwa ‘kulkas’ di Malaysia dinamakan dengan ‘peti sejuk’ atau ‘peti ais’ (dari bahasa Belanda ‘ijskast’). Rupanya di negeri kita sendiri kata ‘peti es’ ini pernah eksis, terbukti ada idiom ‘dipetieskan’. Kalau dalam wacana masa kini, kita sering menggunakan istilah ‘dibekukan’, maknanya ‘tidak akan diungkap lebih lanjut dan dicoba untuk ditutupi’. ‘Pemerintah hanya berpangku tangan menghadapi krisis ekonomi’. Ekspresi cantik ini bermakna ‘tidak berbuat sesuatu apa pun atau hanya terpekur’.
‘Menghadapi gempuran yang bertubi-tubi, musuh akhirnya bertekuk lutut’. Meskipun kita dapat mengatakan dengan ‘musuh menyerah’, kiasan ‘musuh bertekuk lutut’ ini terasa amat anggun. ‘Jangan menjadi benalu dalam rumahtangganya’. Perumpamaan ‘benalu’ yang bermakna ‘orang yang mengambil keuntungan tanpa imbal jasa’ terasa sangat kuat geregetnya. Di masa tahun 1950an, saya sering juga membaca cercaan ‘Dasar orang tak tahu diuntung’. Apatah artinya ‘orang tak tahu diuntung’? Dia adalah orang yang egois, orang yang membalas kebaikan dengan keburukan’.
Di masa itu, pejabat yang mengundurkan diri dinamakan dengan ‘meletakkan jabatan’ dan acara penyerahan jabatan dinamakan dengan ‘acara timbang terima’. Diskon atau korting harga barang di toko dinamakan dengan ‘rabat’. ‘Pemuka masyarakat itu sudah tamat riwayatnya’. ‘Tamat riwayatnya’ tentu bukan tewas, melainkan ‘habis masa depan kariernya’. Dan yang bersangkutan biasanya akan bergumam ‘celaka tiga belas’. ‘Pada hari Ahad saya biasa makan angin dengan mengendara sepeda kumbang.’ Ada yang masih ingat dengan ‘sepeda kumbang’? Ya, benar, dia adalah ‘sepeda motor’ alias ‘motor bebek’.
Sekian dahulu, saya tutup nostalgia bahasa ini sampai di sini dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H