[caption id="attachment_272413" align="aligncenter" width="555" caption="(ilust kranten.kb.nl)"][/caption]
Mungkin kita sudah lupa bagaimana ketatnya pers ‘diikat tangannya’ di zaman Soekarno dan Soeharto. Kala itu ada istilah ‘self-censorship’ atau ‘menyensor diri sendiri’ di dalam menurunkan berita yang mendeskreditkan dalam kaca mata penguasa, termasuk di dalamnya membuat karikatur kedua presiden ini. Karikatur sesuai dengan namanya, tentu dibuat dengan gaya melebih-lebihkan, mengolok-olok, dan menyindir. Mungkin dalam era kedua presiden ini, tak satu pun karikatur dengan penggambaran sosok (figur) mereka dapat kita jumpai di koran dalam negeri. Selain ada rasa pakewuh, redaksi koran-koran tak mau mengambil resiko akan di-breidel.
Namun, tak berarti karikatur kedua presiden ini tak pernah dibikin pada pers luar negeri. Kita barangkali tak pernah melihat karikatur-karikatur ini di zaman itu, karena sedemikian ketatnya sensor media massa luar negeri yang akan masuk ke Indonesia. Berita atau gambar yang dianggap ‘subversif’ langsung akan ditutup dengan cat hitam. Sensor ini tentu tak mungkin lagi diberlakukan dengan adanya internet. Dan sangat menarik, berkat internet ini, saya bisa menemukan sejumlah karikatur Soekarno yang dimuat pada koran-koran terbitan Belanda tempo dulu.
Salah satunya adalah karikatur di masa konfrontasi Ganyang Malaysia di tahun 1964. Kala itu, pers nasional memang sedang gencar-gencarnya membuat karikatur PM Malaysia Tengku Abdulrachman yang digambarkan dengan komikal sebagai figur bertubuh tambun, berkatamata tebal dan berkumis a la Charlie Chaplin. Pada koran ‘De Telegraaf’ 26 Februari 1964, dapat kita lihat Soekarno dan Tengku yang saling berhadapan. Dengan berang, Soekarno menghardik ‘Ik vind het heel lelijk kind’ (bayi orok ini jelek sekali di mataku), merujuk kepada bayi negara Malaysia yang baru dibidani oleh Tengku.
[caption id="attachment_272414" align="aligncenter" width="543" caption="(ilust kranten.kb.nl)"]
Ada lagi karikatur yang dimuat pada tahun 1950 tentang Irian Barat yang pada masa itu belum menjadi bagian dari negara kesatuan RI. Bung Karno digambarkan memakai pakaian tradisional Jawa lengkap dengan keris di punggung dan berkopiah, sedang merayu (op vrijsersvoeten) bersama dengan pemimpin dari Belanda dan Australia. ‘Gadis’ yang dirayu tak lain adalah Irian Barat yang pada lukisan karikatur ini ditampilkan dengan seksi dari komposisi geografisnya.
[caption id="attachment_272416" align="aligncenter" width="562" caption="(ilust kranten.kb.nl)"]
Sebuah karikatur yang cukup sarkastik menggambarkan pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia pada tahun 1959. Pada caption karikatur ini dapat dibaca (kutipan ucapan Soekarno) ‘Als ik zeg, dat het nasionaliseren heet, is het geen diefstal’ (Seperti aku katakan, yang dinamakan nasionalisasi, sama sekali bukan penggarongan). Namun seperti yang terlihat pada gambar, Soekarno sedang keluar dari jendela bangunan yang bertuliskan ‘Nederlandse bedrijven’ (perusahaan Belanda) sambil menggondol karung hasil jarahan.
[caption id="attachment_272417" align="aligncenter" width="519" caption="(ilust kranten.kb.nl)"]
Juga menarik karikatur yang menggambarkan masa menjelang kejatuhan Soekarno pada Januari 1966. Judul karikatur ini adalah ‘Srijdkrachten Staan Achter Soekarno’ (Angkatan Perang Berdiri di Belakang Soekarno). Ini barangkali ucapan Soekarno sendiri yang ingin menggertak mereka yang akan mendongkel dirinya. Tapi gambar karikatur ini menjadi cynical karena ‘angkatan perang memang di belakang Soekarno untuk menggiring keluar panggung politik dengan sangkur terhunus’.
[caption id="attachment_272418" align="aligncenter" width="593" caption="(ilust kranten.kb.nl)"]
Pada karikatur koran ‘De Telegraaf’ yang lain, digambarkan suasana perundingan Indonesia Belanda mengenai status negara Indonesia yang ditengahi oleh negarawan Amerika Serikat John Foster Dulles. Secara menyindir karikatur ini menuliskan ucapan Soekarno dengan ‘Mag ik mijn Japanse onderscheiding opdoen en een of allebei mijn vrouwen meebrengen?’ (Bolehkan aku memakai tanda jasa dari Jepang dan membawa salah satu atau semua istri-istriku?). Digambarkan Dulles terperanjat mendapat pertanyaan ini, meskipun pada masa itu semua tahu bahwa Soekarno adalah ‘pencinta wanita’.
[caption id="attachment_272420" align="aligncenter" width="615" caption="(ilust kranten.kb.nl)"]
Dan satu lagi karikatur yang sekalipun tidak melukiskan sosok Soekarno, namun membuktikan bahwa masalah korupsi sudah bercokol di bumi Indonesia sejak mulai berdirinya negara ini. Diberi judul ‘Zware Taak’ (Tugas Berat) dilukiskan disitu pemburu Harahap yang menghadapi ancaman binatang-binatang buas seperti ular sanca (bandieten, inflasie = premanisme dan inflasi), harimau (staatspolitie= polisi rahasia), dan buaya (corruptie = korupsi). Karikatur yang terakhir ini sungguh masih relevan dan signifikan di zaman kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H