[caption id="attachment_221011" align="aligncenter" width="580" caption="(dok pribadi)"][/caption]
Pernahkah Anda meneliti atau sekedar membaca tulisan komposisi yang tertera pada kemasan junk food yang begitu banyak dijual di supermarket? Saya yakin 99 persen dari Anda tak pernah, tak mau repot, tak peduli membaca keterangan komposisi makanan ringan yang Anda santap. Namun kalau Anda mau meluangkan sedikit waktu membacanya, maka kemungkinan besar akan Anda temui kata-kata ‘Antioksidan TBHQ’ sebagai salah satu ingredient-nya. Membaca kata ‘antioksidan’ barangkali membuat Anda ‘merasa lega’, mengingat antioksidan memiliki reputasi sebagai unsur makanan yang baik dan bermanfaat bagi kesehatan tubuh kita.
Tapi berangkat dari sinilah kiranya Anda perlu waspada. Antioksidan TBHQ yang disebutkan di atas, sama sekali tidak sama dengan vitamin C (asam askorbat) atau vitamin E (tocopherol) yang berguna untuk ketahanan tubuh kita. Antioksidan TBHQ adalah satu dari kumpulannya yang dipakai sebagai bahan pengawet (preservatives) dari minyak goreng dan lemak hewani agar tidak mudah menjadi tengik (rancid). TBHQ yang merupakan singkatan dari Tertiary-Butylhydroquinone juga dibubuhkan pada produk kosmetik seperti shampo, lipstik dan bahan pembersih tubuh lainnya.
Membaca komposisi keripik singkong (lihat gambar) yang tertulis ’Kelapa sawit (mengandung antioksidan TBHQ) mungkin bisa menyesatkan kita. Pertama, bisa saja interpretasi kita tergiring mengasumsi bahwa minyak goreng kelapa sawit secara inheren mengandung antioksidan. Kedua, kalaupun kita memahami bahwa antioksidan ini dibubuhkan pada minyak goreng, kita masih berpikiran positif karena antioksidan selalu memberi citra yang baik. Ini mungkin juga karena upaya mengedukasi masyarakat tentang bahan-bahan pengawet kimia (sintetis) belum terealisasi dengan mantap.
Kajian dari badan pengawas makanan AS (FDA) memang menyebutkan bahwa antioksidan TBHQ ini aman dikonsumsi jika dibubuhkan sesuai dengan kadar yang ditentukan. Selain TBHQ, juga dikenal BHA (butylated hydroxyanisole) dan BHT (butylated hydroxytoluene) sebagai bahan pengawet makanan yang banyak dipakai di era modern ini. Sebagai bahan tambahan makanan (food additives), antioksidan TBHQ diberi kode nomor E319, BHA dengan E320 dan BHT dengan E321.
Apakah dengan dinyatakan aman oleh badan pengawas makanan, zat-zat ini tak perlu membuat kita kawatir? Tiap manusia sesungguhnya mempunyai ‘anomali’ yang berwujud alergi terhadap bahan makanan tertentu. Ada yang alergi terhadap gluten, kacang-kacangan, produk susu dan sebagainya. Untuk mereka yang memiliki alergi terhadap bahan-bahan tersebut, adanya antioksidan TBHQ, BHA, atau BHT akan lebih memperparah kondisi yang bersangkutan. Gangguan yang bisa terjadi meliputi mudah tersinggung (irritability), rasa gelisah (restlessness), sulit tidur, mood yang berubah-ubah, depresi, sulit berkonsentrasi, gangguan kulit, perut kembung, sakit perut, konstipasi (sulit buang air), sakit kepala dan migrain, sering flu, batuk dan asma, nyeri persendian (arthritis).
Ada satu hal ‘kecil’ lain yang saya anggap sebagai pengelabuan publik pada tulisan komposisi di kemasan makanan ringan ini. Di situ terbaca ‘mononatrium glutamat’ sebagai salah satu bahan bakunya. Selama ini masyarakat tahunya adalah Monosodium glutamat (MSG) sebagai nama kimia dari vetsin. Kita semua sudah cukup paham efek samping dari MSG yang terkenal dengan sebutan ‘Chinese restaurant syndrome’ yaitu mulut dan tenggorokan menjadi kering, sakit kepala. Mudah-mudahan penyebutan ‘monosodium glutamat’ menjadi ‘mononatrium glutamat’ bukanlah didasari atas motif untuk menyamar atau mengelabui konsumen.
Menurut saya, mengingat begitu maraknya bahan kimia yang dipakai pada makanan modern, sebaiknya kita membatasi mengonsumsinya, karena penelitian ilmiah masih jauh dari sempurna menemukan efek negatif zat-zat ini pada pemakaian jangka lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H