[caption id="attachment_166886" align="aligncenter" width="600" caption="(ilust goconversation.com)"][/caption]
Pernahkah Anda mengalami situasi yang membuat ubun-ubun Anda berasap berikut ini. Anda sedang mengobrol dengan sejumlah orang dan tanpa dinyana-nyana salah seorang melancarkan sindiran yang tajam dan telak kepada Anda. Anda terhenyak tak dapat berkata-kata (speechless) mendapat smash kata-kata itu dan hanya bisa menahan malu di bawah tatapan mata orang yang terlibat dalam perbincangan. Baru setelah bubaran atau setelah orang dengan lidah tajam pergi berlalu, terbitlah ‘jawaban’ dalam benak Anda untuk membalas serangan kata-kata itu. Namun tentunya hal ini sudah terlambat, karena si penyerang Anda sudah kabur atau mungkin orang itu masih ada di tempat, tetapi topik pembicaraan sudah beralih kepada hal yang lain. Inilah yang dinamakan dalam bahasa Perancis ‘L’esprit d’escalier’ yang secara harfiah bermakna ‘kecerdikan anak tangga’ (staircase wit).
L’esprit d’escalier ini pertama kali digunakan ahli filsafat Perancis Denis Diderot mengacu pada pengalaman pribadinya pada suatu pertemuan makan malam yang diadakan oleh seorang negarawan di lantai atas kediamannya. Dalam kesempatan itu, Diderot disindir dengan kata-kata yang menohok oleh seorang tamu sampai dia tak mampu membalasnya. Baru setelah acara makan malam usai dan dia menuruni anak tangga (staircase) untuk pulang, terpikirlah ‘serangan balik’ yang seharusnya dia lontarkan pada saat dia disindir pedas itu. Dan memang sudah ‘kasep’, karena tamu-tamu sudah bubaran. Dalam jargon Amerika dia dinamakan juga dengan ‘elevator wit’.
Pada umumnya kita termasuk kelompok orang yang sering mengalami L’esprit d’escalier ini. Anda ‘diledek’ oleh teman-teman sendiri, atau ‘diolok-olok’ oleh seseorang, namun terdiam seribu bahasa tak mampu memberi serangan balik tanpa menunjukkan Anda menjadi marah. Baru setelah kejadian ini berlalu, mungkin setelah Anda pulang ke rumah baru tercetus ‘kalimat balasan’ untuk membuat kondisi menjadi impas, yang tentu saja sudah kadaluwarsa. Hanya sedikit orang yang diberi ‘bakat’ untuk secara spontan dan cerdik memberikan serangan balik bilamana mendapat ‘ledekan’ itu. Dalam bahasa Perancis serangan balik verbal ini dinamakan ’riposte’, repartee, atau ’bon mot’. Penulis kondang yang jagoan melancarkan ’riposte’ (yang berarti pantang mengalami ’L’esprit d’escalier’) adalah Dorothy Parker dan Oscar Wilde. Apapun serangan verbal yang dilancarkan kepada mereka akan dibalas kontan dengan telak tanpa jeda sedetik pun.
Adakah contoh ’riposte’ supaya kita tak mengalami L’esprit d’escalier yang membuat kita seperti pecundang abadi? Mungkin dialog berikut ini dapat memberi gambaran mengenai topik yang sedang kita bicarakan. Wanita seringkali mendapat kata rayuan tapi sekaligus ’skak mat’ dari pria hidung belang. Misalnya ada pertanyaan ”Hey, baby, what's your sign?” (Maksud dia : Hay sayang, bintang kamu apa?) Tentu saja sang wanita tidak ingin memberi tahu bintang horoskopnya kepada pria yang tak dikenalnya. Kebetulan kalimat ’what’s your sign’ ini juga bisa bermakna ’rambu jalan kamu apa?’. Maka dengan telak sang wanita bisa menjawab dengan ’Do not enter’ (Dilarang Masuk).
Atau terhadap rayuan gombal seorang lelaki yang berkata "I know how to please a woman."(Aku tahu bagaimana menyenangkan seorang wanita), maka kiat ini boleh dicoba sebagai ‘riposte’ yaitu : “Then please leave me alone”. Dijamin sang lelaki ini akan terdiam kehilangan kata-kata. Memang L’esprit d’escalier pasti pernah dialami semua orang, tapi dengan melatih olah otak kita bisa bermain anggar kata-kata tanpa kecolongan skor di dalam menghadapi si pahit lidah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H