[caption id="attachment_140633" align="aligncenter" width="626" caption="(ilust mojamuzika.sk)"][/caption]
Saya baru saja membaca tulisan kompasianer Ali Syarief yang berjudul ’Kompasianer, Jangan Menyerang Pribadi’. Tanpa menyimak materi tulisannya, sebagian besar dari kita sudah dapat membayangkan dan mengantisipasi apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Secara ringkasnya, penulis ingin mengatakan ‘seranglah nalar/logika sebuah tulisan, tetapi jangan menyerang pribadi si penulis’. Dalam bahasa Latin ada istilah yang cukup populer untuk menggambarkan kecenderungan ini yaitu ad hominem.
Ad hominem merupakan pemendekan dari istilah argumentum ad hominem yang didefinisikan dengan ‘upaya untuk menafikan kesahihan sebuah pendapat dengan merujuk kepada kepribadian (yang dianggap negatif) atau keyakinan si penuturnya. Contoh ad hominem misalnya ada orang yang menyerang tulisan tentang bahaya merokok dengan menuding si penulis sebagai ‘pembenci perokok’. Atau mengatakan si penulis munafik menanggapi sebuah artikel yang ditulisnya. Jadi alih-alih, menyampaikan argumentasi atas gagasan sebuah tulisan, orang menyerang pribadi penulisnya. Tentu dengan tindakan ad hominem ini si penyerang berharap tulisan tersebut kehilangan kredibilitas, karena si penulisnya ‘mempunyai kelemahan’. Ini ibarat mengajak orang untuk tidak membaca sebuah novel ternama, karena si penulisnya adalah pecandu narkoba misalnya.
Ad hominem juga bisa bersifat sirkumstansial. Misalnya ada penulis yang ‘membela’ Gayus Tambunan dan kebetulan dia juga bekerja di kantor perpajakan, maka akan ada ad hominem yang mengatakan ‘maling pasti akan melindungi teman malingnya’. Si penyerang tidak mau menelaah apakah materi tulisan ini sahih atau tidak, tetapi langsung ‘menghujamkan keris’ kepada penulisnya.
Ada pula yang dinamakan ad hominem tu quoque (makna harfiahnya : kamu juga). Misalnya seorang ayah menasehati anaknya agar tidak merokok, karena akan merugikan kesehatan di kemudian hari. Si anak akan melancarkan ad hominem tu quoque dengan menukas bahwa si ayah juga perokok. Fakta bahwa sang ayah adalah perokok, tidak menafikan wacana bahwa merokok ini merugikan bagi kesehatan. Sudah tentu dalam ‘kasus’ di atas kita dapat mengatakan si ayah bersifat hipokrit (munafik), namun pernyataan itu sendiri tidak menurun kredibilitasnya karena diucapkan oleh seorang perokok.
Selain ad hominem, dikenal pula ad feminam yaitu menyerang pribadi penutur/penulis karena dia berjender wanita. Jadi kalau ada tulisan penulis wanita yang tidak berkenan di benak seseorang, maka bukan gagasan tulisan itu yang dikritisi, melainkan jender si penulis yang wanita itu yang dijadikan ‘pintu masuk’ untuk melancarkan kritikan yang bernuansa seksis.
Ada ungkapan menarik yang diucapkan John Steward Mills yang berbunyi : The worst offense that can be committed by a polemic is to stigmatize those who hold a contrary opinion as bad and immoral men (Penistaan paling buruk yang diakibatkan polemik adalah men-stigmakan orang yang berbeda pendapat sebagai manusia yang jahat dan tidak bermoral). Ad hominem ini tentu perlu dibedakan pula dengan umpatan (verbal attack) yang lebih vulgar lagi, seperti menghujat penulis dengan kata-kata ‘bodoh, tolol, idiot, dan sebagainya. Mudah-mudahan tulisan kecil mengenai ad hominem ini, dapat membuka wawasan pikir bahwa dengan hati dan pikiran terbuka, sebuah tulisan dapat diperdebatkan seruncing-runcing tanpa harus ‘meninju hidung’ si penulisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H