Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tukang Kritik

11 Februari 2010   00:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:59 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_72049" align="alignleft" width="300" caption="kritik"][/caption]

Dari namanya ‘tukang’ kita sudah tahu bahwa dia bukan sekali waktu saja melontarkan kritik, tetapi hal ini dilakukannya sepanjang waktu (all the time). Dia ini bak pengamat sepakbola yang bisa membuat analisa ‘setajam silet’ tentang gerak-gerik pemain bola di lapangan. ‘ Kenapa bolanya dibawa sendiri ? Harusnya dia operkan ke penyerang kiri’ dan sebagainya. Kita yang mendengarnya ingin rasanya mengatakan ‘coba kalau kau jadi pemain, pengen lihat aku’. Dan ciri-ciri ‘tukang kritik’ sejati adalah kemampuannya menembak dengan kata-kata yang pedas yang bahkan bisa membuat seekor badak merah kupingnya.

Mengenali tukang kritik sebetulnya tidak sulit. Bila dia bersua dengan kita, maka dia akan memandangi kita dengan intens mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. ’Mulut kamu ini agak miring ke kiri ya’ atau ’kepalamu ini agak peyang ya’. Yah, bahkan bentuk fisik kita yang sudah pemberian dari Tuhanpun dikritiknya. Tidak mengherankan kalau orang memberinya julukan ’si lidah tajam’. Saya pernah mendengar cerita tentang seorang tukang kritik yang mengomentari rekan kerjanya yang memang cantik dengan ucapan ’wajahnya sih kayak malaikat, tapi hatinya kayak setan’.

Bergaul dengan tukang kritik ini jelas sangat tidak nyaman. Masalahnya semua yang dikatakannya selalu negative thinking. Bahkan kadangkala ’dilengkapi’ pula dengan sifat megalomania yaitu sifat suka mengagung-agungkan dirinya sendiri. Kalau kita punya atasan seperti itu ini benar-benar merepotkan. Karena kita harus duduk manis mendengarkan khotbahnya selama berjam-jam tentang segala macam kritikannya ditambah pula puji-pujian dirinya sendiri. Mau menyetop pembicaraan kita nggak berani.

Ada cerita klasik tentang seorang bapak dan anaknya yang membawa seekor keledai ke pasar untuk dijual. Di tengah jalan ada orang yang mengeritiknya : ’Alangkah dungunya bapak ini, punya keledai tapi tidak ditunggangi’. Maka si bapakpun menunggangi keledainya,sementara anaknya berjalan di sampingnya. Tak lama kemudian ada lagi yang mengeritiknya : ’Dasar bapak tidak tahu diri, dia enak-enak naik keledai,sedangkan anaknya dibiarkan berjalan’ Maka kemudian bapak dan anaknya pun menunggangi keledai itu bersama-sama. Belum lama melanjutkan perjalanan ada lagi yang melontar kritik : Betul-betul bapak dan anak yang tidak berperi-kemanusiaan, membebani keledai ini sampai terengah-engah’. Maka selanjutnya kedua bapak dan anak inipun bersama-sama menggendong si keledai ke pasar. Dan belum sampai di pasar muncul lagi kritik : ’Ini benar-benar manusia paling pandir di dunia, masakan ditunggangi oleh keledai’

Yah, inilah perumpamaan buat si tukang kritik yang tidak pernah berhenti mencari kesalahan orang lain. Kata orang bolehlah mengeritik,tapi berikan ’kritik yang membangun’. Namun sepertinya kriteria ini tidak berlaku bagi sang tukang kritik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun