Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Teka-teki Tentang Istilah "Berpangku Tangan"

21 Maret 2014   20:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:39 1592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_316474" align="aligncenter" width="568" caption="berpangku tangan (ilust kompas epaper)"][/caption]

Pada berita foto di harian Kompas kemarin (20 Maret 2014) pada halaman 2, saya melihat kegiatan kampanye PKB di Banyumas yang dihadiri oleh ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar. Nampak di foto, Muhaimin yang sedang duduk sambil melipat lengannya di depan dada. Yang menggelitik otak dan kepenasaran saya adalah sepotong kalimat pada caption yang tertulis “ .... Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (duduk diam berpangku tangan)”. Istilah ‘berpangku tangan’ inilah yang membuat saya mengernyitkan kening.

Di sekolah dasar, kita semua pasti pernah mendapat pelajaran bahasa Indonesia tentang istilah “berpangku tangan” ini. Secara kiasan (figurative) “berpangku tangan” dimaknai dengan “tidak berbuat (bekerja) apa-apa” atau kalau dalam bahasa Inggris “do nothing”. Namun sama seperti ungkapan figuratif lainnya, tentu istilah ini punya makna literal (bahasa Belanda letterlijk) yaitu makna “sesungguhnya”. Sejauh yang pernah saya pelajari di sekolah “berpangku tangan” mempunyai gestur “tangan yang memangku/menopang dagu” seperti pada gambar nomor 1. Jadi bukan seperti gestur yang ada pada foto di Kompas yang memperlihatkan kedua lengan yang dilipat di depan dada.

Untuk menguji ‘kebenaran material’ dari istilah “berpangku tangan” ini ada dua langkah yang saya tempuh, yaitu (1) melemparkannya pada forum Facebook untuk meminta pendapat rekan-rekan dan (2) mencari referensi sebanyak-banyaknya di Google search. Saya cukup terkejut bahwa ternyata interpretasi dari istilah “berpangku tangan” ini sangat beragam. Sebagian sependapat dengan notion saya bahwa “berpangku tangan” adalah “bertopang dagu” yaitu “menyanggah dagu dengan telapak tangan/kepalan tangan” di mana lengan kadangkala bertumpu pada pangkuan. Dalam bahasa Inggris istilah ini lebih realistis dan tak mungkin menimbulkan multi tafsir yaitu chin resting on the hand.

Sebagian responden justru berpendapat bahwa “berpangku tangan” adalah “melipatkan lengan di depan dada” (seperti gestur orang yang kedinginan) yang berarti membenarkan terminologi yang tertulis pada caption berita foto ini. Responden lain berpendapat bahwa gestur pada foto itu disebut dengan “bersedekap”. Dan yang menarik, ada lagi yang berpendapat bahwa “berpangku tangan” adalah meletakkan kedua belah tangan di atas pangkuan, persis seperti pelamar pekerjaan yang sedang diwawancara atau orang yang akan diambil pasfotonya di studio foto (lihat gambar 2).Memang kalau ditinjau dari makna figuratifnya (yaitu “duduk diam tak berbuat apa-apa), baik posisi pada gambar nomor 1, 2, dan 3 semuanya make sense (masuk akal).

[caption id="attachment_316570" align="aligncenter" width="616" caption="dok pribadi"]

13954681201926639740
13954681201926639740
[/caption]

Upaya saya meriset di Google ternyata cukup mengecewakan, karena baik KBBI daring, Wiktionary dan sebagainya tak sedikit pun memberi deskripsi bagaimana sebenarnya gestur dari “berpangku tangan” ini. Yang ada hanyalah definisi kiasan yang tertulis “tidak berbuat (bekerja) apa-apa”. Apakah mempersoalkan posisi tubuh dari istilah “berpangku tangan” ini penting bagi kita? Menurut hemat saya dia penting adanya, karena harus ada kesinkronan antara “kata dan perbuatan”. Ambiguitas pada bahasa ini secara tak disadari merupakan korupsi (pengerusakan) pada pola pikir kita. Contoh yang sempat saya catat, misalnya istilah “diamankan” (yang sama sekali bukan menggambarkan perbuatan membuat aman), “diralat” (ingat ‘ralat’ bermakna ‘error’ atau ‘errata’), “diabsensi” (ingat ‘absensi’ bermakna ‘tidak hadir’). Jadi, kesimpulannya, istilah “berpangku tangan” perlu diklarifikasi oleh Pusat Bahasa dan dicantumkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi berikutnya, bagaimana sesungguhnya posisi tubuh dari “berpangku tangan” ini. Anyway, bilamana Anda mempunyai masukan beserta argumentasinya tentang “berpangku tangan” ini saya persilakan dikemukakan untuk kita diskusikan bersama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun