Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Tentang Pengembalian Istilah "Tiongkok" dan "Tionghoa"

3 April 2014   16:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:08 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Seiring dengan keluarnya Keppres Nomor 12 tahun 2014 tentang pengembalian istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” dari sebutan sebelumnya “Cina”, maka media massa mulai melakukan penyesuaian penulisan, meskipun agak kagok (awkward) pada awalnya. Sekalipun istilah China (dalam bahasa Inggris) ini secara internasional dipakai dari dahulu hingga sekarang dan bersifat netral, namun di negeri kita dia memang memiliki aroma diskriminatif dan peyoratif secara kultural-sosial, mungkin beranalogi seperti penggunaan sebutan “Negro” di negeri Paman Sam yang terasa rasistis.

Apakah semua istilah yang mengandung kata “cina” atau “china” harus dikonversi menjadi “Tiongkok/Tionghoa” pada wacana kita? Tentu saja tidak. Dari zaman sebelum keluarnya Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967, tentang penetapan pemakaian istilah “cina”, orang sudah biasa memakai istilah “petai cina”, ”bidara cina” dan “tinta cina” tanpa ada konotasi rasialis. Petai cina alias lamtoro memang bisa dijumpai di seantero tanah air sebagai tanaman pelindung pencegah erosi dan uniknya di Malaysia dia dinamakan dengan “petai Jawa”. Bidara cina yang dipakai untuk nama kawasan di Jatinegara, Jakarta Timur, adalah sejenis tanaman penghasil buah yang banyak tumbuh di Negara-negara Asia Tenggara dan dalam bahasa Inggris juga disebut dengan Chinese apple dan di Malaysia dengan “epal Siam”. Tinta cina adalah tinta berwarna hitam pekat yang tempo dulu dipakai sebelum kelahiran spidol hitam.

Pada ketiga istilah ini, tentunya kita tak perlu menggantikannya dengan “petai Tiongkok”, “bidara Tiongkok” dan “tinta Tiongkok”. Juga ada istilah “pacar cina” yaitu tanaman perdu yang mirip dengan kemuning, tentu saja akan terasa menggelikan kalau diganti menjadi “pacar Tiongkok”. Istilah “pecinan” yang memadani terminologi bahasa Inggris “china town”, kiranya dapat tetap dipertahankan dan tak perlu sama sekali diubah menjadi “kawasan Tiongkok” atau sejenisnya.

Saya sedang berpikir keras tentang sebutan South China Sea di zaman dahulu, yang kalau ingatan saya tak keliru disebut dengan “Laut Cina Selatan”. Kalau ingatan saya benar, mungkin media massa tak perlu menggunakan istilah “Laut Tiongkok Selatan” yang mulai saya temui di koran-koran. Singkatan “RRC” memang perlu diganti kembali menjadi “RRT” (di zaman dulu merupakan singkatan dari ‘Republik Rakjat Tiongkok’). Yang menurut hemat saya tak perlu diganti adalah sebutan “Indo Cina” yaitu nomenklatur untuk kawasan semenanjung Asia Tenggara meliputi Kambodja, Laos, Vietnam, Burma (sekarang Myanmar) dan Thailand. Tentu akan kedengaran lucu kalau kita mengubahnya menjadi “Indo Tiongkok”.

Bicara soal Indo Cina, saya teringat pada kisah menggelikan waktu saya tugas belajar di Amerikat Serikat dan berkenalan dengan siswa Amerika. Waktu saya berkata bahwa saya berasal dari Indonesia, seorang dari mereka bertanya apakah Indonesia itu sama dengan Indo China? Dasar memang orang Amerika memang terkenal “buta ilmu bumi” (tahunya cuma geografi negaranya thok), masakan Indonesia disamakan dengan Indo China. Saya coba jelaskan letak geografis Indonesia, dan dia cuma manggut-manggut saja dengan pandangan kosong.

Istilah yang masuk ke wilayah abu-abu adalah kata “chinese food” dan “chinese restaurant”, apakah kita jadikan “masakan tiongkok” dan “restoran tiongkok”? Malah ada yang berpendapat sebagusnya ditulis “masakan tionghoa” dan “restoran tionghoa”. Menurut pendapat pribadi saya, dua istilah ini tak perlu direvisi dan tetap dipakai istilah “masakan cina” dan “restoran cina”, mengingat kedua istilah ini sudah kita pakai dari zaman dulu. Namun kalau pun mau dipakai istilah yang baru “masakan tionghoa” dan “restoran tionghoa” juga tak mengapa, karena itulah saya katakan masuk “wilayah abu-abu”. Juga penulisan istilah “kuburan cina” kalau mau diganti menjadi “kuburan tionghoa” atau mau tetap yang lama, either way is okay.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun