Berada dan bermukim di negara asing, mau tak mau, suka tak suka, kita harus menggunakan bahasa setempat dalam interaksi sosial sehari-hari. Nyaris mustahil kita menggunakan bahasa tarzan yang begitu terbatas. Menggunakan bahasa setempat (yang memang bukan bahasa ibu) membawa risiko ditertawakan oleh penutur asli karena diksinya aneh dan ganjil. Inilah yang pada umumnya kita takuti, sehingga mulut kita terkunci (tongue-tied). Namun justru dengan berani salah dan berani malu mengutarakan dalam bahasa asing itulah, sesungguhnya kita akan cepat fasih dan menguasai bahasa lokal tersebut.
Ada ilustrasi yang kocak dan menarik bagaimana seorang Indonesia yang belum lama bermukim di AS berkomunikasi dengan mekanik/montir mengenai keluhan pada mobilnya. Ini kisah nyata, bukan fabrikasi (bikin-bikinan) dan saya kutip dari wall seorang kerabat yang bermukim di Kanada. Sambil minta izin kepadanya, inilah narasi yang ditulisnya: Ada temanku yang sekolah di US, bawa temannya yang baru datang ke bengkel, mobilnya rusak remnya. Temannya ini bilang ke mekaniknya bahwa “My brake doesn’t eat anymore.” (kalau bahasa Indonesianya, remnya sudah gak makan) “Sometimes eat halfway, sometimes is not.” (Kadang makan sebelah, kadang nggak.). Tak bisa lain, kita semua pasti ngakak mendengar ucapan yang dituturkan ini, meskipun sejujurnya kita sendiri tak tahu bagaimana kalimat yang “benar” dalam bahasa Inggris.
Status di wall kerabat saya ini mendapat cukup banyak komen seru dari sahabat-sahabat Indonesia yang berdiam di Kanada dan salah seorang di antaranya menulis sebagai berikut: Ada juga temanku yang suka marahin anaknya yang suka ngilangin barang di sekolah. Dia mau bilang, “Ini duit keringat, kamu gak boleh gitu!”Jadi, dia bilangnya “This is sweating money, you know!”
Setali tiga uang, cerita lucu ini juga berlaku pada orang bule yang sedang bertugas di Indonesia. Ada seorang bule yang sedang bertugas sebagai konsultan WHO (World Health Organization) di kota Kupang, NTT. Suatu hari di posyandu, dia melihat seorang ibu yang membawa anak balitanya dan dengan bahasa Indonesia yang lancar dia bertanya: “Umur berapa anaknya?”. Si ibu menjawab: “Dua tahun.” dan si bule ini nyeletuk: “Oh, cuma dua tahun?”. Kalau orang Indonesia yang ditanya, pasti akan mengatakan: “Oh, baru dua tahun.” yang berpadanan dengan “Just two years.”
Inilah anekdot menggunakan bahasa orang lain, yang bagaimana sempurnanya kita mempelajari, masih tetap terbuka peluang kedengaran aneh. Namun seperti saya katakan di awal tulisan ini, yang penting kita harus berani, “pukul dulu urusan belakang”. Biasanya, si penutur asli akan memberi masukan cara mengungkapkan yang lazim dalam bahasanya, pada saat mana kita akan menjadi selangkah lebih pintar. Bukankah begitu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H