Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kasus Pelat Nomor Kendaraan, Bukti Perlawanan Sang Rekening Gendut

27 April 2014   20:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:08 3540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_333553" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi-Pelat kendaraan bermotor/Kompasiana (KOMPAS.com)"][/caption]

Seperti yang saya utarakan dalam posting terdahulu, mengenai ribetnya membayar pajak kendaraan di Samsat Palembang, akhirnya saya hanya mendapat struk STNK 5 tahunan dan tanda pembayaran pajak 2014, tanpa diberi pelat nomor kendaraan baru (sekalipun tetap diharuskan membayar ongkos pembuatan pelat nomor baru ini Rp50 ribu). Saya bertanya kepada petugas, kapan kira-kira selesainya, dan dijawab belum tahu, karena ini terjadi di seluruh Indonesia, bukan hanya di Samsat Palembang.

Dari hasil menelusuri di media sosial dan mengobrol dengan rekan-rekan, saya mengetahui bahwa memang pelat nomor kendaraan ini sudah kosong di seluruh Samsat di Indonesia sekitar 9 -10 bulan. Dan belum ada kejelasan, kapan backlog ini akan teratasi. Bagi kendaraan yang sudah memiliki pelat nomor lama tetapi sudah “mati” (sudah expired masa 5 tahunan) katanya sambil menunggu selesainya pelat nomor baru, bisa tetap dipakai untuk sementara. Baru kendaraan yang baru didaftarkan, pemilik kendaraan diperbolehkan membuat pelat nomor sendiri di kaki lima. Ini solusi yang sontoloyo alias “memecahkan masalah dengan masalah”.

Pelat nomor kendaraan yang “raib” ini sepertinya tak diributkan orang, karena memang tak langsung menyentuh hajat hidup primer. Toh, kalau seandainya terkena razia, pasti tak akan ditilang, karena si polisi memaklumi bahwa pelat nomor sedang “kosong”. Namun ada yang lebih mendasar untuk dipertanyakan manakala ada layanan publik (public service) yang terbengkalai seperti ini. Ada apa sebenarnya? Kemangkrakan ini sudah berlangsung 10 bulan lamanya dan terjadinya hampir di seluruh tanah air dari Sabang sampai Merauke.

Penjelasan yang diberikan, karena pengadaan bahan baku pelat nomor kendaraan ini adalah wewenang dari pusat, bukan dari Polda masing-masing. Lantas pertanyaan selanjutnya apa yang menyebabkan distribusi bahan baku pelat nomor dari pusat ini “mandek” sudah berbulan-bulan lamanya? Selentingan yang terdengar, semenjak Kapolri diganti oleh Sutarman (yang konon dikenal bersih dan anti korupsi), terjadi serangkaian kebijakan untuk memotong tentakel gurita rekening gendut di tubuh Polri. Seperti terjadi pada institusi lain, sang koruptor tak akan tinggal diam “sumber rezeki”nya disumbat dan dengan segala cara mengadakan perlawanan.

Bentuk perlawanan ini tentunya tak bersifat frontal, tetapi cukup dengan memasang ranjau-ranjau segala peraturan dan perundang-undangan yang ada, sehingga proyek pengadaan pelat nomor ini terhambat total. Kasus ini mengingatkan saya pada Wagub DKI, Ahok, yang dijegal oleh aparat bawahannya sendiri, sewaktu akan menerima bantuan bus kota dari pengusaha. Mereka “menjegal” langkah Ahok mengoperasikan bus-bus tersebut dengan dalih si pengusaha belum membayar pajak reklame dan juga spesifikasi BBM yang bukan gas. Perda-perda itu memang ada, tapi di tangan sang koruptor dijadikan senjata pamungkas untuk fight back (memukul balik) siapa saja yang coba-coba menutup keran aliran fee (ini eufemisme termutakhir menggantikan istilah “komisi”, “amplop”, “jatah” dan sebagainya).

Inilah yang saya percaya sedang terjadi di tubuh kepolisian, khususnya di Direktorat Lalu Lintas. Kasus besar korupsi pengadaan driving simulator nampaknya bukan membuat mereka ciut nyali, tapi justru merapatkan barisan bergerilya dengan mengadakan serangkaian sabotase. Dan tak ada sabotase yang lebih kasat mata daripada “mangkrak”nya pengadaan pelat nomor kendaraan seluruh Indonesia berbulan-bulan lamanya ini. Sudah saatnya Kapolri buka suara memberikan klarifikasi sejelas-jelasnya apa yang sedang terjadi dengan backlog pelat nomor kendaraan ini. Alasan anggaran belum turun pasti tak dapat diterima, karena biaya pembuatan pelat nomor kendaraan ini dibebankan sepenuhnya kepada si pemilik kendaraan sebesar Rp 50 ribu. Saya sudah mengusulkan pada tulisan terdahulu, agar pelat nomor ini tak usah diganti setiap 5 tahun, tetapi berlaku selamanya sampai kendaraan bersangkutan “pensiun”. Pada pelat nomor ini cukup ditempel stiker kecil tanda pelunasan pajak tahun berjalan. Apabila ketentuan ini diberlakukan, masyarakat akan senang tidak usah terkuras waktu dan dana untuk mengganti pelat nomor setiap 5 tahun. Kita tunggu saja penjelasan Kapolri mengenai kekisruhan yang nampaknya sepele tapi sebetulnya sangat krusial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun