Ini adalah salah satu pengalaman paling traumatis dalam hidup saya. Beberapa hari yang lalu, saya menjadi korban penjambretan dan benda yang dijambret adalah tablet Samsung Galaxy kesayangan saya. Lokasi kejadian, ironisnya adalah di depan tempat praktik saya sendiri dan waktunya sekitar pukul 8 malam. Saya mendapat pengalaman yang sangat pahit, karena sudah mengabaikan nasehat yang sangat sering didengungkan “kejahatan terjadi bukan saja karena ada niatan, tetapi juga karena ada kesempatan”. Dalam bahasa Belanda ada pemeo “de gelegenheid maakt de dief”` (kesempatan melahirkan pencuri) yang sering diucapkan oleh mendiang ibu saya.
Cukup sering saya mendengar penuturan tentang kenalan, sobat atau kerabat yang menjadi korban penjambretan. Sekalipun saya berempati, cerita-cerita semacam ini biasanya segera hilang dari ingatan dan perhatian saya. Tak pernah tebersit dalam otak saya, bahwa kemalangan dan musibah ini pada suatu saat dapat terjadi pada diri saya sendiri. Baru beberapa bulan berselang, saya mendengar cerita dari istri tentang koleganya (seorang wanita) yang dijambret dompet yang sedang dipegangnya persis di depan rumahnya sendiri. Penjambretnya seperti yang sudah sering kita baca di koran adalah dua orang lelaki berhelm yang berboncengan. Kolega wanita ini baru keluar dari rumahnya menenteng dompetnya karena akan dijemput mobil tatkala si penjambret bermotor ini menyambar dan merenggut dompetnya seperti burung alap-alap yang menyambar anak ayam. Hanya dalam hitungan satu detik, dompet ini sudah berpindah tangan dan si penjambret langsung tancap gas kabur.
Kolega wanita ini berteriak sekuat tenaga dan berusaha mengejar sampai beberapa puluh meter, namun tentu saja upaya ini sia-sia belaka. Dia terduduk di tepi jalan menangis sejadi-jadinya, karena di dalam dompet ini bukan saja berisi uang, namun semua kartu penting (KTP, ATM, SIM dsb) ada di situ. Cerita sedih akibat penjambretan ini ternyata tak membuat saya menarik pelajaran untuk bersikap lebih waspada dan berhati-hati. Di tempat saya berpraktik sebagai dokter gigi, pada saat tak ada pasien saya sering membuka dan membaca tablet. Karena tempat praktik ini adalah gedung berlantai tiga, maka sinyal internet sering mati hidup. Karena itulah, untuk mendapat sinyal internet yang lebih kuat, saya sering keluar ruangan dan browsing di tepi jalan. Situasi lalulintas di kawasan praktik saya ini relatif sepi.
Tak pernah saya antisipasikan bahwa kebiasaan saya berinternetan dengan tablet di tepi jalan ini sudah lama menjadi incaran penjambret. Dari penuturan asisten saya yang bercerita setelah kejadian tersebut, pelaku ini dua kali bolak-balik melintas di depan praktik, seolah-olah seperti orang yang sedang mencari alamat. Pada saat sepeda motor ini berbelok masuk di depan tempat praktik, saya juga tidak mengangkat kepala (masih menunduk membaca tablet), karena asumsi saya mereka adalah pasien yang akan berobat. Tiba-tiba ada tangan yang merampas tablet ini dari pegangan saya dan sebelum saya sadar apa yang terjadi, sepeda motor itu sudah melesat kembali ke jalan secepat kilat.
Saya baru tersadar sudah mengalami penjambretan dan dalam keadaan shock dan sangat emosional berusaha mengejar dan berteriak maling. Karena emosi yang tak terkendali ini saya justru terpeleset kerikil dan pasir lepas yang ada di jalanan dan jatuh tersungkur mencium aspal. Telapak tangan, lengan, lutut, dan jari-jari kaki luka parah tergerus aspal jalanan, sementara si penjambret sudah menghilang di tikungan jalan. Saya baru menyadari betapa dalamnya luka yang saya alami, setelah saya kembali masuk ke ruang praktek untuk mencuci luka saya ini. Sungguh saya berada pada situasi seperti diiris-iris, perasaan saya dan juga badan saya.
Dalam situasi masih kalut, saya masih terpikir soal pengamanan password di email, Facebook, Whatsapp, Skype dan juga pemblokiran nomor sim card. Saya menelpon adik saya, untuk mengamankan dua hal tersebut. Penggantian password dapat dia laksanakan segera, namun yang sangat saya sesalkan adalah provider XL yang tidak dapat melayani pemblokiran pada malam itu juga. Dana pulsa prabayar yang masih ada pada tablet yang dicuri ini sekitar Rp 300 ribu. Selain untuk pengamanan dari penyalahgunaan adik saya minta dilakukan pemblokiran untuk menyelamatkan dana Rp 300 ribu tersebut. Jawaban petugas kantor XL sungguh mengecewakan dengan mengatakan “Karena kantor sudah tutup, maka pemblokiran tak dapat dilakukan. Bapak bisa datang ke kantor besok pagi untuk mengajukan pemblokiran”.
Apa yang saya khawatirkan memang terjadi pada waktu saya datang ke kantor XL pagi keesokan harinya. Dari monitor petugas customer service terlihat bahwa dana pulsa Rp 300 ribu itu sudah ditransfer ke nomor lain pada pukul 11 malam. Saya bertanya, apakah dana ini dapat ditarik kembali mengingat hal ini adalah tindakan kriminal, namun dijawab tidak bisa. Saya bertanya, apakah nomor penerima transfer pulsa itu ada pada data di monitor, dan juga dijawab tidak ada. Saya bertanya, seandainya saya membawa surat kepolisian tentang pencurian tablet ini, apakah XL bersedia menarik kembali dana pulsa yang dicuri itu, kembali lagi saya mendapat jawaban hal itu tidak mungkin.
Semua jawaban dari XL ini sangat mengecewakan saya yang sudah ditimpa kemalangan dijambret. Orang yang kecopetan/dijambret dompet berisi kartu ATM bisa minta pemblokiran kepada bank bersangkutan pada saat itu juga, sekalipun di tengah malam. Provider lain, juga bisa melayani pemblokiran nomor atas permintaan pelanggan, sehingga ada perasaan menyesal pada hati saya. Permintaan pemblokiran melalui telepon dilakukan oleh adik saya pada pukul 8.30 malam, sedangkan pemindahan dana pulsa dilakukan oleh penjambret pada pukul 11 malam. Jadi, seandainya XL mau melayani pemblokiran ini, uang ini masih dapat diselamatkan.
Berkaitan dengan pengalaman dijambret ini, berhari-hari saya merasakan kesedihan dan kemarahan yang mendalam. Dulu sebelum mengalami kejadian naas ini, manakala kala membaca berita penjambret yang tertangkap dan dihakimi massa sampai tewas, saya merasa kasihan pada pelaku. Setelah kejadian ini, hati saya sudah berubah membenarkan penghakiman massa ini. Saya teringat pada seorang perawat di rumah sakit saya bertugas yang tewas karena jatuh dari sepeda motor waktu tasnya dijambret. Apakah si penjambret mempunyai hati kalau tahu bahwa korbannya meninggal akibat perbuatannya? Pasti tidak. Penjambret semacam ini adalah penjahat die hard yang tidak akan jera atau berubah menjadi baik sekalipun dihukum penjara. Bahkan menurut saya, penjara adalah sekolah untuk meningkatkan dia menjadi penjahat yang lebih professional. Jadi satu-satunya jalan untuk memberantas kejahatan ini adalah dengan “dihabisi” saja.
Setelah mengalami trauma dijambret ini, saya juga menjadi sedikit paranoid. Saya membuat observasi pribadi, tentang pengendara sepeda motor di jalanan. Dari pengamatan saya, sangat jarang, pengendara motor yang berboncengan terdiri dari dua orang lelaki. Kemungkinan yang terbanyak adalah pengendara motor yang sendirian (baik lelaki atau perempuan) dan pengendara motor lelaki yang memboncengkan perempuan atau anak-anak. Jadi kalau kita melihat pengendara motor laki-laki yang memboncengkan laki-laki juga, sebaiknya kita waspada. Apalagi bila si pembonceng membawa ransel di punggungnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H