[caption id="attachment_337923" align="aligncenter" width="502" caption="(ilust kompas epaper)"][/caption]
Baru seminggu yang lalu saya menulis tentang kesalahan bahasa memakai kata sifat sebagai kata benda, kekeliruan serupa saya jumpai lagi pada sebuah artikel “Opini” di harian Kompas edisi hari ini (13 Agustus 2014). Pada tulisan saya terdahulu saya menyoroti pemakaian istilah “kontroversial” yang ngawur seperti dicontohkan pada judul tulisan yaitu “Hitung Cepat Pro Prabowo Menimbulkan Kontroversial”. Mengapa saya katakan ngawur? Karena “kontroversial” adalah kata sifat dan tidak bisa difungsikan sebagai kata benda. Kata bendanya adalah “kontroversi”, sehingga seharusnya kalimat tersebut berbunyi: Hitung Cepat Pro Prabowo Menimbulkan Kontroversi.
Di dalam bahasa Inggris ada istilah linguistik “parts of speech” (saya kesulitan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia), yang intinya menyatakan ada delapan jenis kata yaitu nouns, verbs, adjectives, adverbs, conjunctions, pronouns, prepositions dan interjections yang masing-masing mempunyai kedudukan di dalam sebuah kalimat. Contohnya kata simple (adjective), mempunyai adverb “simply”, noun “simplicity” dan verb “simplify”. Masing-masing kata ini mempunyai tugas dan fungsi tersendiri dan tidak bisa dipertukarkan. Di dalam bahasa Indonesia, kita juga menganut kaidah parts of speech ini, sehingga kata sifat, misalnya, pantang untuk difungsikan sebagai kata benda (kecuali apabila kata benda dan kata sifat itu ejaannya sama). Oleh karenanya, frasa “menimbulkan kontroversial”, atau “mengakibatkan kontradiktif” jelas adalah kesalahan fatal dalam berbahasa.
[caption id="attachment_337924" align="aligncenter" width="600" caption="(ilust detik.com)"]
Beberapa hari yang lalu, pada sebuah portal berita yang menurunkan berita tentang perjuangan persamaan hak pekerja seks komersial terbaca catatan kaki (footnote) sebagai berikut: "Debby doesn't do it for free" adalah sebuah kolektif seni pekerja seks. “Kolektif” adalah kata sifat (adjective), kata bendanya (noun) adalah “koleksi”. Dengan meninjau kata “sebuah” pada kalimat di atas, kita sudah dapat memperkirakan bahwa kata yang mengikutinya haruslah kata benda. Jadi, seharusnya frasa yang ditulis adalah “sebuah koleksi seni”, bukan “sebuah kolektif seni”.
Saya juga menemukan contoh “salah baju” bahasa, pada berita tentang tim transisi Jokowi yang memang tidak ingin banyak diliput oleh pers. Inilah ucapan Hendropriyono: "Tidak terlalu banyak sorotan media, menghindari transaksional".
”Transaksional” adalah kata sifat, kata bendanya adalah “transaksi”. Jadi, dengan argument yang sama, seharusnya frasa ini tertulis “menghindari transaksi”, bukan “menghindari transaksional”.
Pagi ini, seperti yang saya utarakan di awal tulisan, pada artikel opini yang berjudul “Kabinet Impian” pada lead (prakata) tertulis sebagai berikut: “Salah satu tantangan terberat Joko Widodo-Jusuf Kalla seusai terpilih sebagai presiden dan wakil presiden RI 2014-2019 adalah menyusun tim kabinet impian. Apa saja problematiknya?” Kita cermati istilah “problematik” di atas. Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “problematik” diberi anotasi “a” yang berarti dia adalah ajektiva (kata sifat). Kata bendanya adalah “problem”. Jadi, tak bisa tidak, kalimat tadi seharusnya tertulis: Apa saja problemnya? Ada catatan tambahan yang ingin saya kemukakan di sini, yaitu sementara orang suka memakai istilah “problema” dan “problematika”. Kalau kita merujuk pada KBBI, kedua kata tersebut tidak terdaftar, sehingga dapatlah kita beranggapan bahwa keduanya adalah bentuk kata benda yang salah kaprah dan karenanya sebaiknya dihindarkan pemakaiannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H