Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Sebuah Kasus Bahasa Gado-gado Inggris-Indonesia

25 Agustus 2014   22:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:35 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_339615" align="aligncenter" width="581" caption="(ilust kompas epaper)"][/caption]

Kita sering menyebutnya “bahasa gado-gado”, orang Malaysia menamainya dengan “bahasa rojak” (rojak = rujak). Maknanya adalah wacana yang mencampur bahasa nasional dengan bahasa Inggris secara masif, terstruktur dan sistematis. Dalam bahasa lisan, kebiasaan ini sangat lazim dan dianggap lebih komunikatif. Dalam bahasa tulisan, memang kita tidak bisa “seenak perut” mengaplikasikan bahasa gado-gado ini. Mungkin kita masih ingat, di zaman Soeharto, pernah ada larangan untuk menggunakan bahasa Inggris pada papan reklame, papan nama toko, bangunan publik dan sebagainya. Bahkan diturunkan petugas untuk berkeliling merazia mereka yang masih membandel menggunakan bahasa Inggris. Betulkah mengakomodir bahasa Inggris dalam wacana bahasa Indonesia akan merusak dan melemahkan eksistensi bahasa kita?

Saya termasuk pihak yang tidak menyetujui pendapat itu. Saya mempunyai keyakinan bahwa bahasa Indonesia akan tetap digdaya, sekalipun dia disisipi dan disusupi oleh bahasa Inggris. Kalau kita membaca transkrip pidato Presiden Soekarno, akan nampak secara gamblang kepiawaian Bung Karno merangkai kata-kata Indonesia dan Inggris (serta bahasa asing lainnya) dalam suatu simfoni yang indah. Bukan karena Bung Karno mau sok-sokan menunjukkan bahwa dia cakap berbahasa Inggris, tetapi memang dalam konteks yang ingin dikemukakan, istilah Inggris itulah yang paling tepat untuk mengekspresikan. Presiden SBY dalam kadar yang lebih sedikit, juga menyelipkan istilah-istilah Inggris dalam pidato-pidatonya. Orang boleh mengeritik pidatonya sebagai bahasa gado-gado, namun saya tetap berpandangan bahwa bahasa Inggris “tidak ada salahnya” dipadukan dengan bahasa nasional sepanjang dia kontekstual, dalam arti kata menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia akan menghilangkan/melemahkan “daya gigit” kata tersebut.

Bertalian dengan silang pendapat mengenai bahasa gado-gado ini, saya mengamati suatu fenomena bahasa yang cukup menarik. Fatwa pusat bahasa secara tersirat mengatakan bilamana kita menemui suatu kata asing (terutama kata Inggris), langkah pertama, kita cari padanannya dalam bahasa Indonesia (kalau perlu kita ‘ciptakan’ kata baru), langkah kedua kita serap kata itu (misalnya: commitment menjadi ‘komitmen’), dan langkah terakhir kata asing itu kita adopsi utuh (baik pronunciation dan spelling) dan dalam hal terakhir ini kata tersebut kita tulis dengan huruf cetak miring (italic) untuk memberitahu pembaca bahwa kata itu “non Indonesia”. Fenomena menarik yang ingin saya uraikan di sini adalah kata “non Indonesia” yang kita beri imbuhan, baik awalan (prefix) maupun akhiran (suffix).

Ada kata “non Indonesia” cancel misalnya, lantas diberi awalan “di”, sehingga menjadi “di-cancel”. Orang mungkin bisa berkilah, bahwa untuk “di-cancel” sebetulnya bisa mengatakan “dibatalkan”. Namun saya berpendapat bahwa “di-cancel” dan “dibatalkan” mempunyai nuansa semantik (perbedaan halus permaknaan) yang akan saya ulas nanti di bawah. Ada juga kata “non Indonesia” delay yang kita beri imbuhan “di” menjadi “di-delay”. Ini pun sebetulnya bisa dipadani dengan “ditunda”. Namun manakala pesawat mengalami penundaan jadwal penerbangan, kita lebih suka mengatakan “pesawat di-delay” ketimbang “pesawat ditunda”.

Contoh kata Inggris tulen yang diberi imbuhan Indonesia ini tanpa kita sadari sudah cukup banyak berkembang, misalnya “di-print”, “di-copypaste”, “di-install”, “di-charge”, “di-save-kan”, “di-unfriend”, “di-mention”, “di-off-kan”, “di-bully”, “di-update”, “di-delete”, “di-posting”, “di-silent-kan” dan sebagainya. Kita lebih merasa pas mengatakan “Tolong naskah ini di-print rangkap lima” ketimbang mengatakan “Tolong naskah ini dicetak rangkap lima”. Kalau kita menggunakan kata “dicetak” bisa-bisa yang kita ajak bicara akan bingung mengira naskah ini disuruh dibawa ke percetakan. Kita juga lazim mengatakan “HP saya sedang di-charge” atau mengatakan “Mahasiswa baru itu di-bully oleh seniornya”. Sekalipun kata “di-bully” ini sudah diberi padanan “dirundung” atau “dirisak”, tetap saja kita lebih merasa mantap menggunakan istilah “di-bully”. Pada gambar di atas, Kompas pun sudah merestui penerapan pada kata “meng-install” dan “di-reinstall”.

Semenjak periode pemilihan presiden antara Jokowi dan Prabowo, banyak orang yang “di-unfriend” di media sosial. Cukup sulit bukan untuk mencari padanan Indonesia dari kata “di-unfriend” ini, bukan? Atau manakala kita menghadiri acara yang memerlukan kekhidmadan, maka pembawa acara akan mengatakan “Mohon agar ponsel di-silent-kan”. Mungkin memang diindonesiakan menjadi “disenyapkan”, “disunyikan”, “ditidurkan”, namun kita tetap merasa lebih mantap dengan istilah “di-silent-kan”.

Kalau kita cermati, contoh-contoh kata di atas, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kata-kata Inggris tersebut merupakan kerja kerja (verb) dan ini sejalan dengan awalan “di” yang dalam kaidah bahasa kita membentuk kata kerja pasif (misalnya ‘dipukul, disiksa, dilempar’ dsb). Dengan berpatokan pada prinsip itu, sebenarnya penyebutan “di-silent-kan” kurang tepat, karena “silent” bukan kata kerja. Kata kerjanya adalah “to silence”, sehingga kalau kita mau taat azas (konsekuen), maka seharusnya dikatakan “di-silence-kan”. Dalam himbauan berbahasa Inggris juga dikatakan dengan “Please silence your cell phone”.

Kita melangkah lebih lanjut dengan wacana gabungan awalan “di” dan kata Inggris yang berakhiran dengan “ing” (gerund). Ada cukup banyak “model” seperti ini, misalnya “di-posting”, “di-voting”, “di-booking”, “di-warning”, “di-packing”, “di-bonding”, di-cloning” dan sebagainya. Ini merepotkan, sebab kita tahu bahwa gerund adalah kata benda (noun). Kalau kita mau taat azas, seharusnya kata kerjanyalah yang kita pakai, sehingga dia berbunyi “di-post, “di-vote”, “di-book”, “di-warn”, “di-pack”, “di-bond” atau “di-clone”. Tapi sudah kadung bagaimana ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun