Mohon tunggu...
Gustaaf Kusno
Gustaaf Kusno Mohon Tunggu... profesional -

A language lover, but not a linguist; a music lover, but not a musician; a beauty lover, but not a beautician; a joke lover, but not a joker ! Married with two children, currently reside in Palembang.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

R.A. Kartini Simpatisan Agama Protestan?

5 September 2014   20:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:31 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua dari kita pasti mengetahui nama judul buku yang ditulis oleh R.A. Kartini yakni “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Judul ini merupakan terjemahan dari judul asli buku yang berbahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht”. Buku yang merupakan kumpulan surat-menyurat (korespondensi) Kartini kepada sahabat-sahabatnya di Eropa ini disusun oleh J.H. Abendanon yang pernah menjadi Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda (1900-1905). Buku “Door Duisternis Tot Licht” pertama kali diterbitkan tahun 1911, sedangkan terjemahannya “Habis Gelap Terbitlah Terang” pada tahun 1922 oleh Balai Pustaka.

Kebetulan, pada saat membaca novel teranyar Paulo Coelho berjudul “Adultery” (maknanya “Perselingkuhan”), saya tersua dengan selarik pepatah “Post Tenebras Lux After Darkness, Light” pada awal bab 35. Ini menarik, karena ternyata istilah “habis gelap terbitlah terang” ada padanannya dalam bahasa Latin (atau kebalikannya). Frasa ini memang berasal dari salah satu kitab suci Perjanjian Lama versi Job yang berbunyi “Post tenebras spero lucem ("After darkness, I hope for light"). Moto “post tenebras lux” ini dipakai oleh John Calvin, salah satu tokoh pendiri agama Protestan dalam misinya di Geneva, Swiss. Sampai saat kini, semboyan “post tenebras lux” ini masih dipakai oleh penganut agama Protestan Reformis.

Lantas, apakah boleh kita simpulkan bahwa Raden Ajeng Kartini merupakan simpatisan agama Protestan karena mengambil judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” pada bukunya? Tentu saja ini kesimpulan yang meloncat, karenanya tidak benar. Pertama, selama hayatnya Kartini tidak pernah berniat untuk membuat buku, apalagi untuk merancangkan nama judul buku. Kedua, buku ini diterbitkan oleh Abendanon setelah Kartini mangkat, dan ini berarti Abendanon-lah yang memilih judul buku tersebut. Saya belum menemukan referensi yang menunjukkan bahwa Abendanon adalah pemeluk agama Protestan Reformis, namun mengingat agama Protestan merupakan mayoritas di negeri Belanda, kemungkinan besar beliau adalah penganut agama yang diprakarsai John Calvin ini.

Membaca novel “Adultery” karya Paulo Coelho ini memang mengasyikkan. Tema novel ini mengusung kisah seorang wanita jurnalis yang memiliki segalanya (karier yang bagus, keluarga yang harmonis dengan suami penyayang dan dua anak serta penampilan fisik yang menarik), namun melakukan perselingkuhan karena merasa hidupnya terlalu datar dan hambar. Latar belakang kisah novel ini adalah negeri di ujung langit, Swiss. Pada bagian yang berkisah tentang John Calvin, saya menemukan beberapa narasi yang cukup menarik. Seperti diketahui, John Calvin adalah tokoh yang sangat diagungkan di Swiss, khususnya oleh warga kota Geneva. Semboyan kota Geneva juga memakai Post Tenebras Lux dan di kota ini juga ada monumen “Reformation Wall” yang menggambarkan empat patung tokoh pendiri agama Protestan, salah satu di antaranya adalah John Calvin.

Namun, ada hal yang menarik mengenai apa yang dituturkan oleh Linda (sang protagonis dalam novel ini) soal Calvin. Inilah kutipannya: I am standing in front of the old city wall, a monument one hundred meters wide with towering statues of four men who are flanked by two smaller statues. One stands out from the rest. His head is covered, he has a long beard, and he hold in his hands what, in his time, was more powerful than a machine gun: the Bible.

While I wait, I think: If that man in the middle had been born today, everyone – especially Catholics, in France and around the world – would call him a terrorist. His tactics for implementing what he believed to be the ultimate truth remind me of the perverted mind of Osama bin Laden. Both men had the same goal: to install a theocratic state in which all who disobeyed what was understood to be the law of God should be punished. And neither of the two hesitated to use terror to achieved their goals.

His name is John Calvin, and Geneva was his field of operations. Hundreds of people were sentenced to death and executed not far from here. Not only Catholics who dared to keep their faith, but also scientists who, in search of truth and the cures for diseases, challenged the literal interpretation of the Bible.The most famous case was that of Michael Servetus, who discovered pulmonary blood circulation and died at the stake because of it.

Ringkasannya: Aku berdiri di depan tembok kota tua, sebuah monumen membentang seratus meter dengan empat patung tokoh yang menjulang diapit oleh dua patung di kiri kanan yang lebih kecil. Satu patung yang paling mencolok, mengenakan penutup kepala, berjenggot panjang dan menyandang benda yang lebih digdaya dari senapan mesin yaitu kitab suci Injil. Aku berpikir, seandainya tokoh ini hidup di zaman sekarang, semua orang Katolik di Perancis dan di seantero dunia akan menyebutnya sebagai teroris. Taktiknya untuk menerapkan ajaran agama mengingatkan aku akan Osama bin Laden. Keduanya mempunyai tujuan yang sama, mendirikan negara agama di mana siapa saja yang membangkang akan dihukum. Dan keduanya tak ragu untuk menggunakan teror demi mencapai tujuannya.

Namanya adalah John Calvin dan kota Geneva adalah medan operasinya. Ratusan orang dihukum mati dan dibantai di tempat ini. Bukan hanya orang Katolik yang berani mempertahankan keyakinannya, tetapi juga para ilmuwan yang dalam pencaharian nilai kebenaran dan pengobatan penyakit, dianggap menentang tafsir kitab suci Injil. Salah satunya adalah Michael Servetus, penemu sistem peredaran darah paru-paru, yang harus kehilangan nyawanya di tiang hukuman karenanya.

Membaca novel Paulo Coelho memang selalu mengasyikkan, karena selalu ada pengetahuan baru yang saya dapatkan. Karena novel ini mengambil latar belakang negara Swiss, banyak hal baru yang saya pelajari tentang Swiss. Misalkan, tentang makanan nasional orang Swiss yang bernama Fondue, yaitu kuliner yang berwujud kuah kental keju disajikan dalam panci (disebut caquelon) yang dipanaskan dengan kompor portable, dan dimakannya dengan mencelupkan potongan roti berbentuk kotak-kotak yang ditusuk dengan garpu ke dalam kuah keju secara rame-rame. Ada pula adat kebiasaan orang Swiss yang suka cipika-cipiki bila bertemu, namun bedanya dengan kebiasaan kita, mereka melakukan three kisses right cheek, left cheek, right cheek.

Mohon maaf, kalau posting ini sedikit ngalor ngidul, sebentar ngomongi R.A. Kartini, sebentar ngomongi novel “Adultery”, lalu ngelantur ke soal negara Swiss. Silakan ditarik benang merahnya (kalau ada). Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun