Ucapan “menjadi penulis itu kutukan” saya baca pada komen seorang blogger (yang saya masih ingat namanya, namun tak akan saya sebutkan identitasnya) pada saat saya menulis tentang topik apakah menjadi penulis ini bakat atau bukan, beberapa tahun yang lalu. Ucapan “menjadi penulis itu kutukan” memang terdengar satiris dan sarkastik di hati, meskipun saya yakin blogger tersebut bukan berniat menyindir saya atau siapa pun yang membacanya. Ucapannya ini terekam dalam benak saya, meskipun terus terang saya tak sedikit pun terusik atau merasa perlu merogoh batin (soul-searching) untuk menghayati kedalaman maknanya. Dia sirna begitu saja dari ingatan selama bertahun-tahun. Sampai pada hari ini, sekonyong-konyong kalimat itu muncul kembali dan menggedor pintu hati saya.
Saya sudah menjadi “penulis” di Kompasiana selama lima tahun (perhatikan kata penulis yang saya tuliskan dalam tanda kutip) dan mungkin sudah saatnya untuk merefleksi diri. Pada saat orang merefleksi diri tentu yang berkecamuk dalam batinnya adalah pertarungan antara “yes” dan “no” dalam hal ini sebagai penulis. Ucapan “menjadi penulis itu kutukan” ternyata benar adanya, setidak-tidaknya pada perspektif saya pribadi. Untuk apa saya menjadi penulis? Tentu, sama seperti motif penulis lain, adalah untuk mengungkapkan pikiran, isi hati dan perasaan. Saya kira itulah faktor yang menggerakkan tangan kita untuk menulis, entah sifatnya nonfiksi atau fiksi. Tulisan kita itu kemudian dibaca orang. Kita mengharap semua orang menerima ide tulisan tersebut. Namun saya sekarang tiba pada suatu kesadaran bahwa “jalan pikiran” orang itu ternyata berjuta ragamnya.
Tulisan yang sifatnya sharing pengetahuan, bisa dituding sebagai sok pintar, sok pamer dan sok tahu. Tulisan yang sharing kebijakan dan kebajikan, bisa dituding sok alim, sok suci dan munafik. Tulisan tentang kajian politik dan agama, lebih sadis lagi diserang secara verbal dengan hujatan bermuatan SARA. Tulisan yang bernada humor akan dituding sebagai tulisan konyol, tak bermutu, abal-abal. Bahkan tulisan fiksi sering dihujat sebagai sok sastrawan, sok nyeni, sok kreatif. Belum lagi tudingan (secara tersirat) bahwa si penulis cuma cari pujian, cari perhatian, cari nama. Mengapa semua ini terjadi? Karena masing-masing orang mempunyai jalan pikirannya sendiri-sendiri. Tak usah melihat diri saya yang merupakan penulis pupuk bawang, penulis yang sudah kondang saja, pada saat saya membaca bedah buku (preview)nya tak jarang “dibantai” dengan kritikan yang amat kejam. Semuanya mengerucut pada kesimpulan saya bahwa menjadi penulis ini memang kutukan. Saya sering membaca pada prakata buku fiksi selarik kalimat yang kira-kira berbunyi sebagai berikut: “Ucapan terima kasih tak terhingga kepada istriku (atau suamiku, atau anak-anakku), yang telah memberi dukungan moril atas penulisan buku ini”. Ini saya anggap suatu kemewahan yang tak terhingga: mendapat dukungan moril sebagai penulis dari keluarga terdekat.
Saya sampailah pada pemeriksaan diri sebagai penulis. Saya merasa sering menulis secara sarkastik dan tidak semua orang bisa menerima gaya tulisan yang nyinyir ini. Ada pembaca yang tersinggung tapi diam saja, ada juga yang tersinggung dan langsung didampratkan pada saya. Saya juga sering menulis secara satiris, dan sekali pun menurut saya ada nada humoris di situ, tak semua orang bisa menerimanya, bahkan ada yang tersinggung berat. Saya sering menulis tentang bahasa yang menjadi passion (katanya padanan bahasa Indonesianya “renjana”), tapi selalu ada orang yang menganggap saya sok jago bahasa, sok pintar bahasa Inggris dan banyak ngawurnya. Saya menulis ini bukan ingin curhat (seperti SBY) agar mendapat simpati dan penghiburan, tapi saya ingin mengatakan bahwa menjadi penulis adalah pekerjaan yang sia-sia, banyak menanggung kekecewaan dan menyakitkan. Dengan catatan, janganlah Anda terpengaruh oleh tulisan saya ini, karena mungkin ini interpretasi subyektif saya dari kalimat “Menjadi penulis adalah kutukan”. Saya bahkan berharap Anda tetap memelihara semangat (spirit) untuk terus menulis dengan mendengarkan nasehat Kang Pepih, Omjay yang selalu menyemangati kita untuk menulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H