Anda tentu sudah pernah mendengar nama penyakit jiwa yang dinamakan Skizoprenia. Dia adalah penyakit jiwa yang praktis tak bisa disembuhkan dan harus minum obat terus sepanjang hidupnya. Ciri khas dari skizoprenia adalah selalu berhalusinasi dan berdelusi (waham). Ternyata, kini, ada orang yang penyakitnya lebih parah daripada skizoprenia yang bernama “Jokowi hater”. Mengapa saya katakan lebih parah daripada skizoprenia? Karena, berbeda dengan skizoprenia yang kumatnya datang dan pergi, maka Jokowi hater ini praktis tiap hari kumat dengan menulis di media sosial yang intinya menjelek-jelekkan Jokowi.
Fenomena ini sesungguhnya amat mencengangkan dalam artian melihat begitu panjangnya durasi dendam kesumat para Jokowi haters ini. Masa persaingan pilpres Prabowo Jokowi yang ketat sudah lama usai. Pada awalnya, rasa sakit hati dan tidak rela yang dilampiaskan oleh pendukung Prabowo masih bisa dipahami. Tetapi terhadap semua “sakit hati” (agony) yang dialami manusia tentu ada batas waktunya. Tak mungkin dan tidak sehat kalau kita terus meratapi dan menggugat rasa sakit hati ini sampai berbulan-bulan, apalagi sampai bertahun-tahun. Orang yang putus cinta, yang kehilangan orang yang dicintai, yang dikhianati oleh seseorang, pasti hatinya sakit, namun ada saatnya dia akan legawa. Inilah yang dalam wacana sangat populer dalam media sosial kita sebut dengan move on. Sebetulnya menurut saya ada istilah yang lebih tepat untuk melukiskannya yaitu get over. Definisi dari get over adalah “to recover from (an illness, shock etc)” dan “to overcome or master a problem” yang intinya adalah “mengatasi dan memulihkan diri dari cobaan hidup”.
Kembali pada soal perbincangan Jokowi hater ini. Yang saya sesalkan adalah sebagian dari mereka adalah teman di media sosial dan Kompasiana yang dahulu saya anggap menyenangkan dan cerdas. Tapi kini berbalik 180 derajat menjadi orang yang menyebalkan dan tidak menyenangkan. Seolah-olah mereka berubah watak seperti kena tenung jadi orang jahat atau orang yang kena cuci otak. Ada yang berpendapat mereka ini justru kelihatan watak aslinya setelah kejadian pertarungan pemilihan presiden ini. Kedua hipotesa ini tetap menyisakan tanda tanya di benak kita. Tanda tanya itu adalah why dan how long. “Mengapa” mereka begitu militan tak henti-hentinya mencerca Jokowi dan “sampai kapan” hujatan yang beraroma rasa sentimen ini dilancarkannya. Apa yang keluar dari mulut Jokowi hater ini bukan bentuk kritikan yang obyektif, melainkan penuh dengan fitnah, pembohongan publik, dan kenyinyiran.
Terhadap pertanyaan “mengapa” di atas, saya sampai pada suatu kesimpulan yang menurut pengamatan saya memang benar. Para Jokowi hater ini eksis, karena mereka semua adalah penyandang “willful ignorance”. Definisi dari willful ignorance ini adalah “the practice or act of intentional and blatant avoidance, disregard or disagreement with facts, empirical evidence and well-founded arguments because they oppose or contradict your own existing personal beliefs” (tindakan yang dengan sengaja dan terang-terangan menghindari, mengabaikan, menafikan fakta, bukti empiris, dan argumentasi yang mempunyai dasar yang kuat, semata-mata karena fakta-fakta ini bisa menggugurkan keyakinan pribadi yang selama ini dipertahankan. Jadi, ini memang bukan kebodohan (ignorance) karena kita kurang pengetahuan, tetapi kebodohan yang sengaja dipupuk dan dipelihara demi untuk mempertahankan gengsi ideologinya. Tak mengherankan, orang dengan wilful ignorance ini, banyak yang secara intelektual cukup mumpuni. IQ-nya cukup baik, namun dia menutup mata dan menutup telinga terhadap semua hal yang tidak segaris dengan dogmanya. Maka tak terlalu mengherankan, kalau para Jokowi haters ini tidak akan pernah “sadar” atau “mendusin” dari halusinasi yang dilakukannya. Dia merupakan partner penderita Skizoprenia yang selalu asyik dengan dunianya sendiri dan mempersetankan semua pendapat orang waras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H