[caption id="attachment_362807" align="aligncenter" width="384" caption="Malioboro (dok pribadi)"][/caption]
Pukul 7.20 malam pesawat Garuda yang membawa saya dan istri mendarat di bandara Adisucipto, Yogyakarta. Dari Palembang menuju ke Yogyakarta, kami menggunakan connecting flight dengan transit di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Jedah waktu transit di Jakarta menurut itinerary printout hanya sekitar 50 menit dan karena pesawat take off dari Palembang sedikit terlambat dan landing di runway yang baru, di mana untuk sampai ke bandara pesawat harus menempuh waktu sekitar 20 menit, maka begitu melapor di konter transit, maka kami diberitahu bahwa pesawat Garuda ke Yogya sudah boarding. Alhasil, kami bergegas lari sampai hampir putus nafas ke gate F7 karena takut ditinggal pesawat. Fortunately, we make it. Namun, sesampainya di bandara Adisucipto, Yogya, ada kendala yang menghadang. Kami tak bisa menemukan bagasi pada carrousel/conveyer belt (ban berjalan) dan diberi petunjuk untuk melaporkan ke ruang lost and found. Di sini, kami mendapat penjelasan bahwa mengingat sempitnya waktu transit yang ada, maka kopor kami tak sempat dipindahkan ke pesawat jurusan Yogya dan baru akan diangkut pada flight berikutnya yang diperkirakan mendarat pukul 9 malam. Kepada kami ditawarkan dua opsi, tetap menunggu di bandara sampai bagasi tiba atau langsung ke hotel dan bagasi kami nanti diantar ke hotel. Istri saya memutuskan untuk menunggu di bandara, karena semua perlengkapan pakaian dsb ada di dalam kopor. Akhirnya, setelah terdampar (stranded) selama hampir dua jam di bandara, dua kopor yang kami tunggu-tunggu datang jua.
Kesan pertama saya tentang Yogya adalah bandara internasional Adisucipto yang begitu kecil (sak glutek kalau pakai bahasa Surabaya). Padahal Yogyakarta adalah salah satu destinasi wisata yang paling ramai dikunjungi orang. Saya membandingkannya dengan bandara Palembang atau Surabaya yang sekarang sudah super modern. Dengan menumpang taksi bandara berongkos resmi 75 ribu rupiah, kami menuju ke hotel. Sewaktu melintas di perempatan jalan Malioboro, kami melihat parkiran ratusan sepeda motor, padahal waktu sudah jam 10.30 malam. Ternyata dari penjelasan supir taksi, selama sebulan menjelang hari raya Maulid ada pasar malam Sekaten di alun-alun Kraton Yogya. Namun secara keseluruhan pada pukul 10.30 malam, kota Yogya masih hidup dan terbukti pada jam 11 malam, kami tidak mengalami kesulitan untuk mencari tempat makan. Kami terpaksa dinner selarut ini gara-gara menunggu bagasi yang tertinggal di Jakarta itu. Mungkin lebih cocok disebut supper ketimbang dinner.
Hari pertama di kota gudeg, tujuan kami adalah ke jalan Malioboro yang tersohor, lantas ke pasar Beringharjo, ke benteng Vredenburg dan ke Kraton Sultan Yogyakarta yang kesemuanya relatif berada pada satu kawasan. Sebelum datang ke Yogya, saya membayangkan jalanan kota ini dipenuhi dengan pengendara sepeda ontel, seperti yang saya saksikan di kota Amsterdam, Belanda. Ternyata bayangan saya ini keliru sama sekali. Nyaris tak ada sepeda yang saya lihat, justru sepeda motor yang jumlahnya tak terhitung mendominasi ruas-ruas jalan di Yogya, persis seperti kota-kota besar lain di Indonesia. Kemacetan lalulintas di pusat kota, selain disebabkan sepeda motor, juga kendaraan mobil, bus pariwisata, becak, andong (kereta yang ditarik kuda) yang tumpah ruah di jalanan. Tak ada pembatasan larangan masuk untuk becak di sini, misalnya pada jalan protokol. Nanti saya juga akan tahu, bahwa tukang becak di sini rata-rata adalah pemandu wisata yang mumpuni yang bisa bercerita banyak tentang sejarah kekratonan Yogya dengan sangat fasih.
[caption id="attachment_362811" align="aligncenter" width="286" caption="(dok pribadi)"]
Jalan Malioboro mungkin adalah satu-satunya jalan dengan trotoar yang sangat lebar. Namun sayangnya, sarana untuk pejalan kaki ini justru diokupasi untuk tempat parkir sepeda motor. Sepanjang jalan Maliboro pada pagi dan siang hari dipenuhi dengan toko yang berjualan pakaian batik. Saking banyaknya batik yang dijual sampai istri saya mabuk dibuatnya. Trotoar juga dipenuhi dengan pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan, baju kaos batik, jajanan dan kudapan, sehingga untuk bergerak berjalan kami harus berdesak-desakan. Tukang becak dengan ramahnya menawarkan untuk mengantar kami ke tempat penjualan batik yang bagus dengan gratis (atau setinggi-tingginya dengan ongkos 5 ribu saja). Ya, nampaknya tukang becak ini akan mendapat bonus dari si empunya galeri batik bilamana berhasil membawa pelancong ke tokonya. Kami memilih untuk berjalan kaki menyusuri jalan Malioboro ini demi menghayati suasana jalan legendaris ini. Dan akhirnya di pengujung jalan sampailah kami di Pasar Beringharjo yang beken ini. Entah karena masa liburan atau memang demikian halnya sepanjang tahun, manusia yang berjubel di pasar Beringharjo luar biasa crowded, sampai bergerak pun kami berhimpitan kayak sarden di dalam kaleng. Orang-orang sudah mengingatkan kepada kami, agar tas yang disandang ditaruh di depan untuk mencegah pencopetan.
[caption id="attachment_362813" align="aligncenter" width="367" caption="benteng vredeburg (dok pribadi)"]
Selepas dari pasar Beringharjo, kami menuju ke Benteng Vredeburg yang letaknya di seberang Kraton Yogya dan Istana Presiden (untuk presiden RI bilamana berkunjung ke Yogya). Benteng ini dibangun oleh Belanda konon untuk melindungi Kraton Yogya, padahal maksud terselubung Belanda adalah untuk mengawasi gerak-gerik Sultan yang pada masa itu berpotensi untuk memberontak. Ada beberapa museum di kompleks benteng Vredeburg ini, di antaranya berupa diorama yang menggambarkan perjalanan sejarah bangsa Indonesia, misalnya Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Zaman Jepang dan sebagainya. Dan dari benteng ini kami berjalan ke Kraton Yogya. Sayang sekali, karena hari itu hari Jumat, kraton ditutup lebih awal. Nanti pada hari Minggu, kami sekali lagi ke Kraton sekitar pukul 9.30 dan bisa menikmati pemandangan di dalam kawasan kraton ini.
Apa kesan-kesan yang kami dapatkan selama satu hari di kota pelajar ini? Karena andong (kereta kuda) cukup banyak di sini, maka aroma kotoran kuda (horses’ dung) berseliweran di hidung. Memang di bagian belakang ekor kuda dipasang kain terpal yang memanjang ke tempat penampungan kotoran, jadi kotoran itu tidak bertebaran di jalanan. Namun karena tempat penampungan ini terbuka dan dibawa ke mana-mana, maka baunya semerbak di seantero jalanan. Kesan lainnya, kami melihat banyak anak-anak muda yang bergerombol di sudut-sudut jalan dan rata-rata badannya dipenuhi dengan rajah (tattoo). Kelihatan remaja ini bukan preman atau tukang peras seperti di kota besar lainnya, namun penampilannya rada menakutkan juga, karena kesan negatif yang selama ini terbentuk dalam benak tentang gambaran preman. Kesan lain adalah banyaknya graffiti (corat-coret dengan cat semprot) di sarana publik dan juga di pintu-pintu toko. Ada sebagian yang merupakan mural (gambar bernilai seni) tetapi pada umumnya hanya corat-coret yang merusak pemandangan. Secara umum kota Yogya memberi kesan kotor dan tak tertata rapi. Bicara trotoar lebih parah lagi. Di jalan-jalan yang tergolong jalan protokol, trotoar ini sangat sempit dan dipersempit lagi dengan dibangun pot besar dari semen (tetapi tak ada tanaman hiasnya), tiang besar untuk baliho yang dipasang di trotoar. Saya sampai bertanya-tanya apakah kota Yogya memiliki walikota seperti halnya kota Solo. Sampah-sampah banyak berserakan sepertinya sudah berhari-hari tidak dibersihkan penyapu jalan. Satu lagi kesan yang menonjol adalah banyaknya pohon beringin yang entah sudah berapa ratus tahun umurnya, karena begitu gigantic dan begitu banyaknya akar gantung meliputi batang pohon itu. Mungkin kota Yogya terbanyak memiliki pohon beringin yang di Palembang dinamakan dengan “beringin janggut” ini.
Namun di antara kesan yang kurang baik ini, ada hal-hal yang menyenangkan juga. Orang Yogya hampir semuanya sangat ramah dan berbicara sopan. And very helpful. Kalau kita menanyakan jalan, pasti akan dijelaskan dengan panjang lebar. Hal yang menyenangkan lainnya adalah semua harga di Yogya serba murah. Makanan murah, ongkos beca murah, karcis masuk obyek wisata murah. Saking murahnya makanan di Yogya saya sampai berpikir bahwa pelayan restoran salah hitung. Ini sebetulnya nilai tambah kota Yogya, dia adalah kota wisata terkenal hampir setaraf dengan Bali, namun biaya hidup di sini tidak gila-gilaan mahalnya dan tetap murah. Saya makan di Soto Kadipiro, Mie Kadin (mie jawa) di Bintaran, gudeg di Wijilan, semuanya murah banget. Hanya sayangnya rata-rata tempat kuliner yang terkenal di Yogya ini kurang representatif, dibangun seadanya, malah ada yang memakai atap dari terpal plastik. Mungkin kota Yogya perlu mempunyai walikota seperti walikota Surabaya, Ibu Risma yang membuat kota menjadi cantik, nyaman dan enak dipandang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H