Judul novel bestseller 2012 besutan Jonas Jonasson ini sebetulnya lumayan panjang yaitu “The Hundred-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared” dan merupakan novel saduran dari bahasa Swedia (karena Jonas Jonasson adalah penulis berkebangsaan Swedia). Kabarnya novel ini sudah diterjemahkan dalam 26 bahasa, termasuk diantaranya bahasa Indonesia. Novel ini dibuka dengan narasi seorang sesepuh penghuni panti jompo bernama Allan Karlsson yang akan dirayakan ultahnya ke 100. Walikota setempat akan hadir, sejumlah wartawan juga diundang untuk meliput, namun beberapa jam menjelang dirayakan pesta ini, si Allan tua ini melompat dari jendela kamar tidurnya dan kabur tanpa tujuan yang jelas. Dari sinilah, terangkai kisah petualangan yang absurd, sensasional dan humoris. Opa Allan yang ringkih ini terlibat adu kecerdikan dengan sindikat penjahat yang mengejarnya karena membawa lari uang sekopor hasil transaksi penjualan narkoba.
Namun yang menarik bukan sekadar alur cerita kejar-kejaran antara si Allan dan kawanan penjahat yang semakin lama semakin seru. Si penulis dengan trampilnya memasukkan episode flashback (kisah masa lalu) si Allan mulai dari masa mudanya, di mana suratan takdir membuat dia bertemu dengan presiden Harry Truman, diktator Rusia Stalin, pemimpin Tiongkok Mao Tse-tung, dan sejumlah tokoh dunia lainnya. Meskipun diceritakan dengan gaya satiris dan melodramatik, saya melihat persinggungan si Allan muda dengan tokoh-tokoh besar ini sebagian besar memang berlatar-belakang sejarah yang autentik. Novel ini mengingatkan saya pada fiksi “Forrest Gump” (yang juga bestseller dan sudah diadaptasi menjadi film), di mana sang tokoh, Forrest Gump, yang sesungguhnya adalah idiot savant (orang dengan IQ rendah), ternyata bisa berkiprah dengan tokoh dunia, seperti Mao Tse-tung.
Apa yang teristimewa sangat memikat perhatian saya saat membaca novel-novel dalam bahasa Inggris ini? Adalah pada saat Indonesia disebut-sebut dalam novel tersebut. Tidak harus eksplisit kata “Indonesia” dicantumkan dalam novel-novel ini, namun segala hal ikhwal yang bertalian dengan adat budaya dan stereotipe Indonesia (baik dinyatakan secara tersurat maupun tersirat), cukup membuat hati saya berbunga-bunga. Misalnya, pada novel “Killing Patton” ada penyebutan “rice paddy” untuk mengacu pada “sawah”. Saya agak penasaran juga mengapa padanan bahasa Inggris untuk “sawah” adalah “rice paddy”. Bukankah “rice” dan “paddy” ini sama dan sebangun maknanya, sehingga terasa pleonastik (pemakaian kata yang dobel). Pada novel “The Hundred-Year-Old Man Who Climbed Out of The Window and Disappeared” yang saya sebutkan di atas, aroma Indonesia sangat banyak saya jumpai. Bahkan pada salah satu bab (chapter), secara penuh dijatahkan oleh penulis untuk menyindir dan membuat satire tentang Indonesia (dengan memakai latar belakang pulau Bali). Saya akan mencoba memberi gambaran tentang aroma Indonesia pada novel ini, kendatipun serba singkat, mengingat keterbatasan space pada tulisan ini.
Pada salah satu bagian dari novel ini, dikisahkan tentang bisnis nakal dari bos sindikat penjahat yaitu mengimpor makanan yang diawetkan dengan formalin, sehingga bisa bertahan sampai berminggu-minggu. Inilah kutipannya: There was a problem with the Boss’s partner – his conscience wasn’t sufficiently flexible. The Boss wanted to diversify into more radical scheme such as soaking food in formaldehyde. He had heard that was how they did things in some parts of Asia and the Boss had the idea of importing Swedish meatballs from the Philippines, cheap and by the sea. With the right amount of formaldehyde the meatballs would stay fresh for three months if necessary, even at 100°C. (Saduran bebasnya: Ada masalah dengan rekan bisnis si Bos – hati nuraninya tidak mengijinkan.
Si Bos ingin melebarkan sayap bisnis impor daging dengan cara yang radikal yaitu dengan merendam bahan makanan ini dalam formalin. Dia mendengar kiat inilah yang dilakukan di beberapa negara Asia dan si Bos mempunyai gagasan mengimpor daging bakso dari Filipina ke Swedia, dengan harga murah dan lewat jalur laut. Dengan diberi formalin dalam jumlah yang memadai, maka daging bakso ini akan tetap segar sampai tiga bulan kalau perlu, bahkan pada suhu 100° Celsius). Kelanjutan dari paragraf tadi tertulis: They would be so cheap that the partners wouldn’t even have to label them as ‘Swedish’ to sell them at a profit. ‘Danish’ would suffice, thought the Boss, but his partner said no. In his opinion, formaldehyde was fine for embalming corpses, but not for giving eternal life to meatballs. (Saduran bebasnya: Begitu murahnya daging ini, sehingga rekan bisnis ini tak usah memberi label Swedia untuk dijual dengan mendapat laba, cukup dengan label Denmark. Tetapi sang rekan bisnis menjawab tidak. Menurutnya, formalin baik-baik saja untuk mengawetkan mayat, tetapi tidak baik untuk memberikan kehidupan abadi pada daging bakso).
Membaca kisah ini, saya jadi teringat praktik nakal pedagang daging di pasar-pasar negeri kita yang sampai sekarang masih suka merendam daging-dagingan ini dalam formalin. Apakah si penulis memang pernah tinggal beberapa lama di Indonesia dan melihat fenomena khas Indonesia ini?
Di bagian lain dari novel kocak ini, saya juga menemukan fenomena khas Indonesia yaitu membubuhkan larutan gula pada semangka. Inilah kutipan dari bisnis nakal si Bos yang lain: Bosse said that he had done something similar with watermelons he also imported, although not from Poland. They came from Spain or Morocco. He prefwerred to call them Spanish because nobody would believe that they came from Skövde in the middle of Sweden. But before he sold them, he injected half a litre of sugar solution into each melon. ‘That makes them twice as heavy – good for me – and three times as tasty – good for the consumers!’ (Si Bos mengatakan hal yang sama dilakukannya pada semangka yang dia impor, kendati bukan dari Polandia. Mereka dari Spanyol atau Maroko. Namun sebelum dijual, dia menyuntikkan setengah liter larutan gula ke masing-masing semangka. “Dengan begitu, beratnya menjadi dua kali lipat – menguntungkan buat saya – dan tiga kali lebih enak rasanya – menguntungkan buat konsumen).
Tetapi yang paling seru dan menohok sindiran tentang Indonesia ada pada Chapter 20 yang mengisahkan petualangan Allan muda dari negeri Tiongkok sampai ke pulau Bali. Di Bali, dua sekawan Allan dan Herbert, yang penggemar fanatik minuman vodka, memesan vodka dicampur coca cola, tetapi apa lacur diberi minuman sari pisang berwarna hijau menyala yang bernama “Pisang Ambon” oleh pelayan restoran yang IQ-nya sedikit jongkok bernama Ni Wayan Laksmi.Singkat cerita, meskipun Ni Wayan Laksmi berat jodoh karena punya otak kodok (she has about as intelligent as a kodok, balinese for frog), akhirnya dikawini oleh Herbert, sahabat karib Allan. Karena Herbert sulit menyebut nama istrinya, maka digantilah namanya menjadi Amanda. Amanda inilah yang memberi pelajaran kepada Herbert bahwa “di Indonesia semuanya bisa dibeli” (in Indonesia everything was for sale). Karena sang suami bule belum juga mengerti apa yang dimaksudkan, maka Amanda mengatakan: ‘Dear Herbert, tell me something that you would like for yourself.’ (Mas Herbert, coba kamu kepingin apa?). Dijawab oleh Herbert bahwa dia ingin bisa menyetir mobil.
Si Amanda pergi dan tiga jam kemudian dia balik ke rumah dengan membawa SIM ditambah lagi sertifikat (diploma) yang mencantumkan nama Herbert sebagai instruktur sekolah mengemudi bahkan ditambah pula bukti pembayaran bahwa Herbert sudah membeli kursus jasa belajar mengemudi. Inilah bukti sang istri bahwa in Indonesia everything was for sale. Bisnis pasangan ini maju, dan Amanda yang IQ-nya kurang ini merasa perlu untuk mempunyai gelar sarjana. Tak jadi masalah asalkan ada uang. Dia kuliah hanya beberapa minggu saja, maka keluarlah ijasah sarjana ekonomi dari perguruan tinggi ternama dan lulus dengan nilai tertinggi pula (it had taken a few weeks and had cost quite a lot, but in the end she had the certificate in her hand. Top grades too, from one of the better universities in Java).
Selanjutnya Amanda ingin memasuki dunia politik dan berambisi menjadi gubernur Bali. Tak jadi masalah asalkan ada duit. Karena Amanda mempunyai saingan dengan gubernur petahana, maka Amanda mengemukakan strateginya kepada suami bulenya. Modal uang mereka dibagi menjadi tiga. Sepertiga untuk menyogok kepala penyelenggara pilkada, sepertiga untuk kampanye hitam kandidat lawan, dan sepertiga lainnya untuk modal hidup kalau seandainya upaya mereka gagal. (‘Great’ said Amanda. ‘Then we’ll use one third of our capital for my election campaign, one third for bribes for the heads of the election districts, one third for muddying the reputation of main opponent, and then we’ll keep one third to live on if things don’t work out. What do you think?’) Akhirnya Amanda memenangi pilkada ini dengan 80 persen suara, sedangkan lawannya memperoleh 22 persen suara. Meskipun jumlah total keduanya lebih dari 100 persen dan bagi lawannya ini mengindikasikan kecurangan, namun protes ke pengadilan tak diladeni.
Di paragraf lain, Gubernur Amanda mendeklarasikan Bali sebagai provinsi yang paling rendah tingkat korupsinya. Ini disebabkan, karena dia sudah menyogok komite investigasi yang membuat peringkat korupsi di masing-masing provinsi (Besides, Bali was ranked by human rights organisations as the least corrupt region in the country. That, in turn, was because Amanda had bribed the entire investigating committee).
Masih banyak satire-satire asyik yang bercerita tentang Indonesia dalam novel ini, namun saya cukupkan sampai di sini dulu. Saran saya, lebih mantap kalau Anda membacanya dalam bahasa Inggris, sekalipun terjemahannya sudah ada di toko-toko buku. Lebih terasa menggigit sindiran Indonesianya kalau kita membaca naskah bahasa Inggrisnya. Itu kata saya (maaf bukan mau sok-sokan jago berbahasa Inggris). Sekian dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H