Mohon tunggu...
Agus Sur
Agus Sur Mohon Tunggu... -

hanya ingin berbagi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Rolling2 Dahulu, Kilauan Kemudian

15 Oktober 2012   17:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:48 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13503212381177612629

[caption id="attachment_204331" align="aligncenter" width="600" caption="Pasir Putih Kiluan"][/caption] Kiluan. Nama itu sudah lama saya dengar sebagai tempat yang eksotis. Terletak di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Di sinilah kita bisa melihat kawanan lumba2 berloncatan dengan riangnya. Riang? Saya mengira2 saja sebab setelah melihatnya langsung saya merasakan aura kegembiraan itu. Lama terpendam, akhirnya saya kesampaian juga menyambangi Kiluan. Sama seperti waktu ke Sawarna yang sudah lama saya rencanakan, ke Kiluan saya tempuh dengan bersepeda. Wisata hijau istilahku. Berhubung tak banyak waktu, memanfaatkan hari kejepit karena pencoblosan Pilkada Jakarta – maaf, kali ini jadi golput karena yakin jagoan di putaran pertama pasti menang – saya bersama Ketut dan Yanto gowes ke Teluk Kiluan dari Bandarlampung. Dengan niat memiliki banyak waktundi Kiluan, saya berangkat Rabu malam menggunakan DAMRI jurusan Gambir-Bandarlampung. Rencananya, begitu tiba di Bandarlampung pagi harinya langsung mandi dan makan lalu gowes. Sore tiba di Kiluan dan Sabtu pagi balik ke Jakarta. Setidaknya Minggu sudah sampai Jakarta. Naik DAMRI tanpa pesan tiket terdahulu ternyata bikin senewen. Memilih keberangkatan pk. 21.00, ternyata tiket Executive sudah habis. Ada yang biasa tapi sepeda tak bisa masuk. Harus menunggu yang pk. 22.00. Karena mengejar waktu kami ambil yang pk. 20.00 dengan konsekuensi duduk di ruang rokok. Ini kursi bagian belakang, di samping toilet. Harusnya bisa nego soal harga, tapi karena sudah kalah posisi – kami butuh waktu – maka akhirnya kami terima saja. Masing2 bayar Rp200.000 termasuk sepeda. Tiket orang saja Rp150.000. Sepertinya kursi belakang menjadi penghasilan tambahan sopir karena tidak ada tiket. “Tenang saja kalau ada pemeriksaan. Saya tanggung jawab,” begitu kata Sopir. Bus berangkat tepat waktu. Ketut memilih tidur di belakang kursi, di atas mesin. Yanto di belakang toilet. Aku di barisan kursi. Tak ada yang nyaman untuk tidur sebenarnya. Namun kalau sudah ngantuk, nyaman pun tak masuk hitungan. Yang penting ada tempat. Begitulah, kami pun tertidur – tentu tidak lelap – menghimpun tenaga untuk gowes esok harinya. Beruntung saat masuk fery kami memperoleh tempat duduk kosong sehingga bisa tidur nyenyak sekitar dua jam. Lumayan. Bus masuk ke Stasiun Tanjungkarang sekitar pk. 06.00.

***

Setelah merakit sepeda, kami beranjak mencari toilet. Beruntung di parkiran pertokoan Bambu Kuning yang berada di depan stasiun kami menemukan toilet. Usai mandi kami mencari sarapan. Melewati depan Hotel Amelia Ketut mengingatkan soal tempat menginap saat jelajah sepeda Jakarta Palembang. Iya, dulu kami menginap di hotel itu saat etape 2 berakhir. Jalanan menurun menuju Teluk Betung. Tujuan kami adalah Lempasing, Punduh Pedada, Kelumbayan-Tanggamus. Jika melihat peta topografi Lampung Selatan, kita akan melihat banyak teluk dan juga perbukitan di sisi teluk. Jadi sudah terbayangkan akan ada banyak rolling yang menguras tenaga. Rolling merupakan istilah dalam gowes yang artinya jalanan menanjak lalu menurun. La, emang ada jalan yang menanjak dan tidak menurun. Maksudnya rolling itu menanjak dan menurun sepaket dalam arah sejalur. Jika jalur menanjak dan menurun itu sama ya namanya tanjakan. Rolling yang pertama akan kita temui selepas sekitar 10 km sejak kayuhan pertama di Stasiun Tanjungkarang. Selepas warung penjual kelapa muda. Aspalnya masih mulus. Berkelak-kelok. Jika tak ada mendung, siap2 saja minum yang banyak buat melawan hidrasi. Pemandangan cukup menyejukkan mata. Tak usah ciut nyali sewaktu berbelok dan melihat jauh di atas masih sambungan dari tanjakan yang kita daki. Yakinlah bisa kita taklukkan tanjakan ini. Habis rolling akan ada pemandangan laut. Bisa rehat sejenak. Atur napas untuk menikmati turunan. Jangan takabur dengan turunan. Syukuri itu sebagai buah manis berkenalan dengan tanjakan. Rolling kedua, tanjakan beton. Lurus dan terlihat jelas puncaknya. Panas jika tak ada mendung. Lebih panas dibandingkan dengan rolling pertama. Sekali lagi jangan down mental kita. Nikmati setiap putaran roda. Sejengkal demi sejengkal kayuh pedal. Fokus pada jalan di depan roda depan. Medongak sesekali untuk melihat masih berapa lama puncak tanjakan terlampaui. Tapi jika mental dah kuat, tatap saja puncak tanjakan. Bayangkan ia kekasih hati yang sudah lama kita tinggalkan. Rindu yang terpendam bisa menjadi tenaga yang mampu meluruhkan segala keterjalan tebing. Percayalah. Rolling selanjutnya, jalan tanah berdebu. Ya, aspal sudah benar2 habis. Yang ada bongkahan2 batu yang membuat kita harus pintar mengendalikan laju sepeda. Di depan matahari menyeringai. Tak usah marah. Sapa saja dengan senyuman dan seuntai kata, “Hai …” Segarang2nya mentari pasti luluhlah dengan kelembutan kita. Tanjakan pun terasa enteng. Di puncak tanjakan tersua kolam2 udang dengan kincir sirkulasi yang terus berputar, 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Masih ada rolling2 lain, yang tak perlu saya ceritakan. Bisa saja tak akurat nanti sebab kondisi di sini sangat dinamis. Tanjakan tanah tadi sepertinya sebentar lagi beralih dengan tanjakan beton. Atau rolling aspal mulus tadi siapa tahu menjadi bopeng2. Yang jelas, kita akan tetap melintasi banyak rolling menuju Kiluan. Sebelum akhirnya bersua dengan Tanjakan Menipu. Ya, kubilang menipu karena dari puncak tanjakan, tanjakan ini begitu menggoda. Secara logika tanjakan itu sejalur dengan tanjakan yang baru kita daki. Sewaktu Yanto turun lebih dahulu, saya sudah menunggu untuk mengambil gambar saat dia mulai mendaki. Sangat dramatis. Terlebih matahari sore menyorot dari samping depan. Akan muncul gambar siluet dengan tanjakan terang di depan. Namun, mengapa lama tak muncul2? Ternyata, di akhir turunan gerbang Kiluan mengarahkan kita ke kiri. Dari atas tidak terlihat karena tertutup rimbunan pepohonan. Dari gerbang dengan lambang Menara Siger dan lumba2 ini Teluk Kiluan sudah terlihat. Begitu juga dengan Pulau Kelapa atau Pulau Kiluan yang bisa kita jadikan tempat menginap, baik di cottage atau tenda. Hanya saja, hati2 saat menuju Kiluan dari gerbang ini. Girang boleh2 saja. Tapi turunan tajam kudu disikapi dengan jeli. Juga harap diingat, nanti kembali akan lewat sini lagi hahaha…. Oke, selamat ke Kiluan. Jangan pedulikan dengan rollingnya. Pasti terbayar saat sudah sampai di sana. Apalagi bisa bersua dengan lumba2 paruh panjangnya.

***

Mau lihat kawanan lumba2nya? http://youtu.be/nb1KDl23QtA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun