Kurikulum pendidikan pesantren pada saat ini kebanyakan menggunakan kurikulum tradisional  yang lebih menitikberatkan pada studi yang berbasis keagamaan tanpa diperkuat dengan keilmuan yang menjadi standar nasional. Kurikulum tradisional ini perlu diperkaya dengan pendidikan berbasis keterampilan (vocational education) dan pengetahuan umum yang relevan dengan dunia kerja modern. Dalam hal ini, pesantren harus mampu berinovasi untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang seimbang antara nilai-nilai spiritual dan kompetensi teknis. Salah satu keilmuan yang perlu dimasukkan dalam kurikulum pesantren sebagai tonggak awal dalam melakukan transformasi pesantren menjadi lebih modern adalah pengembangan kurikulum berbasis teknologi. Di era digital, literasi teknologi menjadi salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh setiap individu, terutama generasi muda. Pesantren harus mulai mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam proses pembelajaran. Selain itu, perlu adanya program-program pelatihan yang berfokus pada penguasaan teknologi digital, seperti coding, pengembangan aplikasi, hingga e-commerce. Pemanfaatan teknologi dalam pendidikan juga dapat mendukung sistem pembelajaran jarak jauh atau e-learning. Ini sangat penting mengingat situasi seperti pandemi COVID-19 yang mengharuskan lembaga pendidikan untuk beradaptasi dengan model pembelajaran daring. Pesantren bisa mengembangkan platform digital yang memungkinkan santri belajar dari jarak jauh, sehingga akses pendidikan dapat diperluas tanpa batasan geografis. Dengan menyediakan fasilitas pendidikan berbasis teknologi, pesantren tidak hanya menyiapkan santri untuk dunia kerja, tetapi juga membuka peluang bagi mereka untuk menjadi inovator dan wirausahawan di bidang teknologi. Hal ini sangat penting mengingat perkembangan industri 4.0 dan 5.0 yang membutuhkan SDM dengan keterampilan digital yang mumpuni.
      Selain keterampilan teknologi, pesantren juga harus memperkuat pendidikan kewirausahaan. Kewirausahaan dalam Islam tidak hanya mengejar keuntungan materi, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai moral seperti keadilan, kejujuran, tanggung jawab sosial, dan keberlanjutan. Konsep ini selaras dengan tujuan syariah (maqashid syariah), yakni menjaga kesejahteraan manusia secara keseluruhan, baik dari sisi material maupun spiritual. Di masa depan, kewirausahaan akan menjadi salah satu pilar utama dalam menciptakan lapangan kerja baru, mengingat tidak semua lulusan akan terserap oleh pasar kerja formal. Dalam hal ini, pesantren dapat mengajarkan konsep kewirausahaan yang berbasis nilai-nilai Islam, seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab sosial, dan keberlanjutan. Pendidikan kewirausahaan di pesantren harus mampu melahirkan santri-santri yang tidak hanya fokus pada keuntungan pribadi, tetapi juga pada kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Model kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) bisa menjadi salah satu pendekatan yang relevan, di mana santri diajarkan untuk mendirikan usaha yang memiliki dampak sosial positif, seperti pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan, atau pelestarian lingkungan. Melalui pendidikan kewirausahaan ini, santri tidak hanya akan memiliki keterampilan untuk membuka usaha sendiri, tetapi juga jiwa kepemimpinan dan kreativitas dalam menciptakan solusi bagi permasalahan sosial di sekitarnya. Dengan demikian, pesantren bisa berperan dalam mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan di masa depan.
      Melalui berbagai inisiatif, termasuk koperasi santri, usaha pertanian, kerajinan tangan, dan industri kreatif, beberapa pesantren telah secara efektif memasukkan kewirausahaan ke dalam kerangka pendidikan mereka. Sebagai contoh, koperasi santri merupakan salah satu model bisnis yang mengajarkan nilai-nilai keadilan dalam pembagian keuntungan dan kerja sama yang saling menguntungkan, selain memberikan pengalaman ekonomi kepada para santri. Berpartisipasi dalam koperasi mengajarkan para santri bagaimana menjalankan perusahaan mereka sendiri, menangani segala sesuatu mulai dari pemasaran dan produksi hingga keuangan. Selain itu, beberapa pesantren juga mulai mengembangkan unit-unit usaha mandiri yang dijalankan oleh santri, seperti produksi makanan, pengolahan hasil pertanian, atau usaha di bidang teknologi. Unit usaha ini tidak hanya memberikan pemasukan tambahan bagi pesantren, tetapi juga menjadi sarana praktis bagi santri untuk belajar tentang dunia bisnis dan manajemen. Dengan demikian, santri yang lulus dari pesantren memiliki bekal keterampilan kewirausahaan yang kuat dan siap untuk terjun ke dunia usaha atau bahkan membuka lapangan kerja bagi orang lain. Dengan melihat berbagai keuntungan yang didapat, baik bagi para santri maupun bagi pesantren itu sendiri, integrasi pembelajaran berbasis kewirausahaaan dalam pendidikan pesantren perlu ditambah dan dikembangkan agar menjadi supplayer utama tenagan kerja dalam dunia usaha serta menjadi salah satu komponen penting dalam perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional melalui dunia bisnis.
      Pesantren memiliki potensi besar dalam memanfaatkan bonus demografi 2045 jika mampu berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan zaman.  Inovasi strategis yang dilakukan oleh pesantren akan berperan penting dalam menciptakan sumber daya manusia yang tidak hanya berkualitas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter dan moral yang kuat. Dengan demikian, pesantren dapat menjadi lembaga pendidikan visioner yang mampu memberikan kontribusi nyata bagi Indonesia dalam menghadapi tantangan bonus demografi 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H