Mohon tunggu...
Gus Ros
Gus Ros Mohon Tunggu... Lainnya - (ingin jadi) Penulis

Menjelang satu dekade menjalani LDM | Sharing tentang Pernikahan dan Parenting ~ Menulis apa yang ingin ditulis

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Ekspektasi vs Obsesi dalam Pernikahan

31 Desember 2024   15:05 Diperbarui: 31 Desember 2024   15:05 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ekspektasi Pernikaahan (Sumber : Dok. Pribadi / Hasil dari AI)

Pernikahan sering kali diwarnai oleh bayangan manis yang kita bawa sejak awal. Namun, saat realitas mengetuk pintu, banyak yang terkejut melihat betapa jauhnya jarak antara impian dan kenyataan. Apakah ini berarti pernikahan yang kita jalani salah? Ustadz Salim A. Fillah dalam bukunya Bahagianya Merayakan Cinta mengingatkan kita bahwa kebahagiaan dalam pernikahan bukanlah soal menemukan pasangan yang sempurna, tetapi menciptakan hubungan yang terus diperbaiki. Jika ekspektasi kita adalah kesempurnaan, maka kekecewaanlah yang sering kali menjadi tamu tak diundang. Maka, mungkin bukan pernikahannya yang salah, tetapi ekspektasinya.

Ustadz Cahyadi Takariawan dalam bukunya Sakinah Bersamamu menekankan pentingnya melihat pernikahan sebagai ladang perjuangan, bukan tempat pelarian dari kesulitan hidup. Pernikahan, menurut beliau, adalah sebuah proses yang membutuhkan ketangguhan, kerja keras, dan keikhlasan. Jika ekspektasi hanya berhenti pada harapan-harapan besar tanpa usaha nyata, maka ketika ujian datang, kita mudah menyerah. Di sinilah letak perbedaan antara ekspektasi dan obsesi: ekspektasi adalah apa yang kita harapkan terjadi, sedangkan obsesi adalah dorongan kuat untuk terus memperjuangkan sesuatu meski jalan terasa berat.

Mungkin sudah saatnya kita mengubah cara pandang kita. Ekspektasi dalam pernikahan sering kali berujung pada kebingungan karena pasangan manusiawi yang kita temui tidak mampu memenuhi gambaran ideal yang ada di kepala. Sebaliknya, obsesi untuk menjadikan pernikahan sebagai amal terbaik kita membuka ruang untuk menerima kelemahan pasangan dengan kasih sayang dan menyelesaikan konflik dengan bijak. Seorang konselor keluarga, Retno Indriastuti, dalam buku Harmoni dalam Rumah Tangga, mengingatkan bahwa pernikahan yang bahagia adalah tentang kemauan untuk belajar terus-menerus. Dia menekankan pentingnya komunikasi yang jujur dan saling pengertian sebagai kunci mengatasi tantangan.

Mengubah ekspektasi menjadi obsesi adalah perjalanan panjang. Ia tidak bisa dilakukan hanya dengan niat, tetapi juga dengan tindakan nyata. Obsesi membutuhkan komitmen untuk belajar memahami pasangan, membangun keintiman emosional, dan menghadapi perbedaan tanpa kehilangan cinta. Dalam proses ini, kita tidak hanya bertumbuh sebagai pasangan, tetapi juga sebagai individu.

Pernikahan adalah ladang amal, ladang cinta, dan ladang kesabaran. Jika kita menjadikannya obsesi, perjuangan dalam pernikahan bukan lagi sesuatu yang menakutkan, melainkan tantangan yang mendewasakan. Jadi, mari kita ubah fokus kita: dari berharap pernikahan sempurna menjadi berjuang untuk pernikahan yang bermakna. Karena pada akhirnya, kebahagiaan dalam pernikahan bukanlah hasil dari apa yang kita harapkan, tetapi dari apa yang kita perjuangkan bersama.

***

Silahkan baca juga :

Waktunya Couple Time

Hikmah yang Terselip dibalik LDM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun