Mohon tunggu...
Gus Ros
Gus Ros Mohon Tunggu... Lainnya - (ingin jadi) Penulis

Menjelang satu dekade menjalani LDM | Sharing tentang Pernikahan dan Parenting ~ Menulis apa yang ingin ditulis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kandasnya Asa Mahasiswa dan Pekerja Perantau

26 November 2024   11:45 Diperbarui: 26 November 2024   13:10 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilutrasi Pilkada (Sumber: alinea.id))

Sebagai orang awam akan hukum, pusing rasanya membaca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 137/PUU-XXII/2024 tertanggal 5 November 2024 yang setebal 71 halaman. Ya baru-baru ini MK menolak permohonan mahasiswa perantau yang mengajukan hak memilih di luar daerah asal pada Pilkada 2024 pada keputusan tersebut. 

Keputusan ini menjadi pukulan telak bagi para perantau, terutama mahasiswa, yang ingin menjalankan hak konstitusionalnya tanpa terhambat jarak dan biaya. Harapan agar sistem pilkada lebih inklusif ternyata belum sepenuhnya terwujud, menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana demokrasi kita memberi ruang bagi seluruh warga negara untuk berpartisipasi. 

Kenapa Harapan Itu Kandas?

Penolakan MK didasarkan pada argumentasi bahwa sistem pilkada memang dirancang berbasis lokal. Hak pilih hanya bisa dilakukan di wilayah tempat seseorang terdaftar sebagai pemilih. MK memandang bahwa perubahan sistem untuk mengakomodasi pemilih lintas daerah akan membutuhkan infrastruktur dan regulasi tambahan yang tidak sederhana, terutama untuk menjamin keamanan dan keabsahan suara.

Namun, keputusan ini mengabaikan kenyataan bahwa banyak mahasiswa dan pekerja perantau tidak memiliki fleksibilitas waktu atau biaya untuk kembali ke daerah asal saat pemilu. Akibatnya, ribuan hak suara berpotensi hilang. Ini tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada representasi hasil pilkada yang seharusnya lebih mencerminkan keinginan seluruh konstituen.

Persoalan yang Mengemuka

  1. Aksesibilitas Hak Pilih: Undang-Undang Pemilu mengatur mekanisme pindah memilih, tetapi penerapannya terbatas pada pemilu nasional. Pilkada, dengan sifat lokalnya, masih terikat pada aturan yang kaku.
  2. Minimnya Inovasi Teknologi: Sistem pemilu belum memanfaatkan teknologi digital untuk memungkinkan pemungutan suara jarak jauh atau e-voting secara aman dan andal.
  3. Kurangnya Kesadaran dan Sosialisasi: Banyak mahasiswa perantau tidak mengetahui batasan hak pilih mereka atau merasa kesulitan mengurus administrasi pemilu.

Apa yang Bisa Diperbaiki di Masa Depan?

  1. Pemanfaatan Teknologi Digital
    Indonesia perlu serius mempertimbangkan penerapan sistem e-voting atau surat suara elektronik. Teknologi ini memungkinkan pemilih untuk memberikan suara dari lokasi mana pun, dengan syarat keamanan dan privasi dijamin. Negara-negara seperti Estonia dan Korea Selatan telah berhasil menerapkan sistem ini, membuktikan bahwa tantangan logistik dapat diatasi dengan inovasi teknologi . Meskipun demikian tantangannya berbeda antara kedua negara tersebut dengan Indonesia yang begitu luas wilayahnya dengan jumlah pemilih yang sangat banyak. Usulan penerapan sistem e-voting sempat dilontarkan oleh Menkoninfo pada tahun 2022 lalu.

  2. Penyederhanaan Mekanisme Administrasi
    Regulasi terkait pindah memilih harus disederhanakan, termasuk untuk pilkada. Pemerintah dapat menciptakan mekanisme khusus bagi perantau yang memungkinkan mereka memilih di tempat mereka tinggal sementara tanpa membatalkan daftar pemilih di daerah asal.

  3. Sosialisasi Hak Pilih yang Lebih Masif
    Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan pemerintah daerah harus memperluas kampanye informasi, khususnya kepada mahasiswa, pekerja dan kelompok perantau lainnya. Dengan begitu, mereka lebih siap mengantisipasi batasan dan kendala administrasi.

  4. Pengaturan Pemilu Serentak yang Lebih Fleksibel
    Salah satu solusi jangka panjang adalah mengevaluasi konsep pilkada serentak agar lebih fleksibel. Dengan menyesuaikan jadwal pilkada atau memungkinkan pemilih lintas daerah, partisipasi warga negara dapat ditingkatkan tanpa merusak sistem lokal.

Kandasnya harapan mahasiswa dan pekerja perantau ini menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak hanya soal prosedur, tetapi juga soal aksesibilitas. Jika negara ingin memastikan bahwa demokrasi benar-benar menjadi milik semua warga negara, maka sistem pilkada harus mampu beradaptasi dengan mobilitas masyarakat modern.

Dalam jangka panjang, langkah-langkah di atas tidak hanya akan meningkatkan partisipasi pemilih, tetapi juga memperkuat legitimasi hasil pilkada. Demokrasi yang inklusif adalah demokrasi yang mampu mendengarkan dan mewadahi suara setiap individu, termasuk mereka yang berada jauh dari kampung halamannya.

***

Silahkan baca juga :

Asa Perantau dalam Pilkada Serentak 2024: Hak Memilih Tanpa Batas Wilayah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun