Keistimewaan Yogyakarta, merupakan bahan yang laris-manis dalam pilkada yang diselenggarakan di propinsi DIY hari-hari ini. Setelah beberapa kabupatenbelakangan melakukan Pilkada dengan lancar dan tertip tidak adanya bentrokan antar pendukung beberapa, meski sedikit insiden pembakaran atribut pemenangan calon sempat terjadi, namun secara umum situasi sebelum sampai setelah pelaksanaan pilkada berlangsung dalam suasana yang kondusif.
Beberapa bulan belakangan kota Jogja mulai juga melakukan pilkada untuk memilih walikota dan wakilnya menggantikan pasangan walikota dan wakil walikota saat ini yang akan habis masa jabatannya. Pilkada yang akan dilangsungkan pada tanggal 25 September.
Tiga pasangan calon walikota dan wakil walikota saling adu mempromosikan diri menjelang pemungutan suara pada 25 September. Mereka yang akan berkontestasi adalah Zuhrif Hudaya-Aulia Reza dengan nomer urut 1. Keduanya diusung PKS dan Gerindra. PAN, Partai Demokrat dan PPP menjagokan Hanafi Rais-Tri Harjun Ismaji (Fitri) yang mendapat urut dua. Pasangan ini menjadi yang paling populer karena faktor ketokohan mantan Ketum DPP PAN Amien Rais yang merupakan ayah Hanafi. Sedangkan nomer urut 3 adalah pasangan Haryadi Suyuti-Imam Priyono (Hati Berimam). Pasangan ini dimajukan oleh Golkar dan PDIP.
Berbagai poster, spanduk, baliho saat ini telah dipasang di berbagai tempat di kota Yogyakarta. Ketiga pasangan akan memperebutkan hati pemilih yang telah terdaftar sebagai daftar pemilih tetap. Siapa yang akan menjadi pemenang Pemilukada Kota Yogyakarta.
Tiga pasang kontestan, berikut sekaligus pembacaan terhadap pesan-pesan simbolinya:
1.Muhammad Zuhrif Hudaya, S.T. dan Drs. Aulia Reza Bastian, M.Hum. (ZULIA)
Pasangan dengan visi “Kampung Jogja kampung sejahtera, yaitu kampung cerdas yang mampu menjadi sekolah bagi individu dan keluarga, memiliki daya tarik wisata, kondusif terhadap pertumbuhan industri rumah tangga, dengan lingkungan hijau yang senantiasa terjaga ” ini memang sangat gencar menyuarakan jargon “Mbangun Kampung”. Tentang jargon “Mbangun Kampung”, ZULIA menjadi satu-satunya melakukan berdasar representasi dari program unggulannya. Mereka tidak larut dalam persaingan dua pasangan lain yang berebut “warisan kesuksesan” walikota sebelumnya serta isu pro penetapan (sekalipun ada juga alat peraga kampanye bertuliskan “pro penetapan”
2.Ahmad Hanafi Rais, S.IP., M.PP. dan Ir. Tri Harjun Ismaji, M.Sc. (FITRI)
Sedangkan visi lengkapnya adalah “Membangun Yogyakarta sebagai kota kreatif untuk mengembangkan mutu pendidikan, pariwisata, dan kesejahteraan warga yang didukung oleh penataan dan pembangunan kota dan kampung yang semakin nyaman huni”.Secara lisan FITRI hampir tak pernah mensosialisasikan visi mereka. Yang banyak muncul hanyalah klaim sebagai penerus walikota sebelumnya, Herry Zudianto, dan pernyataan pro penetapan.
3.Drs. H Haryadi Suyuti dan Imam Priyono D Putranto, S.E., M.Si. (HATI)
Pasangan ini mengusung visi “Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai kota Pendidikan berkualitas dan Inklusif, Pariwisata berbasis Budaya, dan Pusat Pelayanan Jasa, yang berwawasan lingkungan dan ekonomi kerakyatan”. HATI mengangkat pesan simbolik demikian karena pasangan ini didukung oleh mayoritas kerabat Kraton seperti GBPH Prabukusuma, GKR Pembayun, dan nama-nama lainnya. Maka tak mengherankan nama-nama tersebut dieksploitasi menjadi pendukung dalam alat peraga kampanyenya. Bahkan, GBPH Prabukusuma menjadi salah satu juru kampanyenya. Lebih lanjut, hal tersebut dapat pula menjadi pesan bahwa pasangan ini adalah yang paling pro penetapan. (Inamul Haqqi Hasan,tulisan, 2011)
Pemilukada Walikota Yogyakartakali ini digelar dalam kondisi semakin rumitnya pembahasan RUU Keistimewaan Yogya. Dalam situasi ini, sebagian besar kandidat Walikota Yogya menyatakan dirinya pro-keistimewaan (pro-”penetapan”).
Masalah penggolan RUUK Yogyakarta semakin tak menentu. Kemungkinan besar bakal berhenti dan berkonsekuensi perpanjangan lagi masa jabatan Gubernur DIY yang akan habis pada Oktober mendatang. Rakyat yang sudah sekian lama menanti kejelasan UUK Yogyakarta tentu semakin geregetan.
Perasaan rakyat yang geregetan itulah yang dibidik beberapa kandidat dalam Pemilukada Walikota Yogyakarta. Mereka jelas-jelas mengangkat isu keistimewaan Yogyakarta dengan menegaskan diri mereka pro ”penetapan”. Dengan demikian, soal keistimewaan Yogya sesungguhnya telah menjadi komoditas dalam pesta demokrasi sekarang ini.
Persoalannya, “ketulusan” sudah tak ada dalam kamus politik di republik ini, yang ada adalah “kepentingan”. Untuk kepentingan merebut tampuk kekuasaan itu para kandidatdalam pemilukada di tanah airberkoar koar dalam berkampanye. Ratusan juta sampai ratusan miliar rupiah digelontorkan begitu saja. Namun di hadapan publik kandidat pemilih, calon-calon pemimpin selalu mengatakan bahwa mereka murni.
Dalam seminggu terakhir menjelang pencoblosan, kampanye pemilukada walikota Yogyakarta agaknya mulai sedikit bergeser dari kompetisike arah kontravensi. Kontravensi adalah bentuk persaingan yang cenderung menuju ke pertentangan/ pertikaian (konflik) dengan ciri-cirinya adanya (1) sikap-sikap penolakan dan perlawanan, (2) penyangkalan, fitnah, cercaan, (3) hasutan, (4) pengkhianatan, (5) tindakan mengejutkan lawan.
Kontravensi itu telah terjadi kampanye hitam yang mendiskreditkan salah seorang kandidat. Ada beberapa trelihat adanya pengrusakan atas beberapa baliho iklan kampanye di beberapa sudut kota Yogyakarta. Dalam dunia politik, otak dibalik tindak politik kontraventif seperti itu sangat sulit dideteksi sebab kampanye negatif tak selalu dilakukan oleh lawan politik, bahkan bisa merupakan rekayasa diri sendiri.
Namun yang jelas, masyarakat Yogyakarta yang berpendidikan pastilah bisa membaca bahwa demokrasi prosedural senantiasa sarat dengan kepentingan politik. Dengan demikian, pengusungan isu keistimewaan (“penetapan”) oleh para kandidat itu pun pasti juga sarat dengan kepentingan politik masing-masing
Secara langsung atau tidak langsung, kepemimpinan Walikota Yogyakarta jelas akan mempengaruhi nasib dan masa depan keistimewaan Yogyakarta. Karena itu rakyat berharap supaya visi keistimewaan para kandidat itu jangan sekadar menjadi taktik kampanye untuk merebut dukungan, namun menjadi komitmen kenegarawanan yang murni dan tulus.
Secara historis, tegaknya keistimewaan Yogyakarta bukan hanya karena kepemimpinan dwi tunggal Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, namun juga berkat dukungan penuh Walikota Yogyakarta yang pertama, yaitu KPH Mr Soedarisman Poerwokoesoemo. Saat Kota Yogyakarta sebagai Ibukota RI dalam keadaan genting, HB IX berkoordinasi dengan Walikota Soedarisman dengan pesan: (1) jika walikota tak bisa mengatasi masalah, persoalan ditangani langsung oleh Sultan, (2) walikota harus berusaha tidak meninggalkan Yogyakarta meski Belanda telah menduduki dan jangan sekali-kali berpikir untuk mencari keselamatan diri sendiri, (3) walikota jangan sampai tertangkap Belanda, apalagi menyerahkan diri pada Belanda (Sujamto, 1988, hal 239).
Jika sejarah keistimewaan Yogyakarta masih ingin dilanjutkan, kesatuan visi dan kerja Sultan, Paku Alam, dan Walikota Yogya harus terus ditegakkan. Siapa pun Walikota Yogyakarta yang akan terpilih nanti, semoga memiliki komitmen yang teguh untuk menegakkan keistimewaan Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H