Malam ini saya ingin kembali sedikit peduli dengan negeri ini. Kali ini saya ingin menulis tentang sejarah yang dalam waktu dekat akan diperingati oleh Indonesia, Negaraku. Mungkin nanti topiknya akan melenceng dan melebar kemana-mana. Jadi maklumi aja karena saya sudah ngasih tahu Anda dari awal (hahah)
***
10 November 1945. Anda pasti tahu peristiwa apa yang terjadi di hari tersebut? Ya, paling tidak dari buku sejarah SD, SMP atau SMA saat Anda sekolah dulu, atau dari orang lain (teman, keluarga, tetangga, atau manusia lainnya), atau dari internet, Koran, dan sebagainya. Kalau Anda sebagai warga negara Indonesia yang baik harusnya tahu dengan hari bersejarah itu (seharusnya ya, bukan maksa sayanya).
Setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan oleh bangsa Indonesia. Untuk tahu bagaimana latar belakang perang dan prosesnya lebih baik baca buku –buku sejarah atau cari tahu di Google karena saya tidak akan membahas itu di sini. Yang ingin saya bahas adalah budaya orang Indonesia ketika ada hari peringatan nasional (jauhkan dari topik awal? Saya sudah ngasih tahu di paragraf pertama lho).
Latar belakang saya menulis ini sebenarnya bertujuan untuk mengkritik bangsa ini (beeuhh..mengkritik bangsa ini? sok banget kan ya). Saya sudah melihat sekian banyak orang memperingati hari besar atau bersejarah bagi bangsa ini, Namun banyak orang yang melakukan itu hanya untuk seremonial saja atau untuk sok keren biar orang lain ngira dia ternyata memperingati hari bersejarah bagi negaranya (kadang dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada tanggal itu). Dia melakukan itu cuma biar terlihat keren di mata orang lain, ya intinya dia tidak memaknai itu sebagai suatu hal yang penting atau bermakna bagi dirinya. Anda pasti tahu maksud saya.
Contohnya dalam pelaksanaan upacara bendera tiap hari Senin di sekolah-sekolah negeri di Indonesia. Jujur, saya tidak suka melaksanakan upacara bendera. Bukan saya tidak ingin menghormati Sang Merah Putih yang terbang tinggi di tiang bendera, bukan saya tidak ingin menyanyikan lagu Indonesia Raya, bukan karena saya tidak ingin mendengar pembacaan Pembukaan UUD 1945, bukan juga saya tidak ingin mendengar pembacaan Pancasila. Tetapi, saya tidak tahu fungsi dan tujuan sebenarnya dari pelaksanaan itu. Mungkin Anda atau orang lain akan berkomentar “padahal pahlawan dulu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan nyawa, harta, dan segalanya, tetapi disuruh berdiri sebentar saja di lapangan upacara tidak mau” kepada saya.
Tapi saya tanyakan kembali pada Anda. Apa dengan upacara bendera penjajahan atas Indonesia akan tuntas? Anda pasti akan mengelak dengan berkata “Indonesia sudah merdeka kok”, tapi apakah merdeka namanya jika di sebagian besar sudut negeri ini masih banyak yang buta huruf, masih banyak koruptor, masih banyak tengkulak, masih banyak tiran-tiran, masih banyak yang terisolir, masih banyak kemiskinan, masih banyak anak terlantar, masih banyak pengangguran, masih banyak sumber daya alam yang dikuasai asing, dan masih banyak lagi masalah-masalah lainnya jika disebutkan satu-satu.
Sudah saya katakan dari awal, terkadang itu hanya seremonial tapi tidak dimaknai. Itulah Indonesia, terdoktrin dengan seremonial-seremonial. Tidak bisa memaknai apa yang harus dilakukan setelah melaksanakan seremonial tersebut. Sekali lagi, sudah saya bilang, itu kadang dilaksanakan juga agar terlihat keren. Sebenarnya tujuan penguasa untuk membuat peringatan untuk hari bersejarah itu baik, karena penguasa tidak ingin bangsa ini lupa dengan siapa yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia hari ini.
Yang tidak saya setuju itu adalah bangsa ini hanya memperingati tapi tidak memaknai! Mereka hanya tahu (tekadang hanya ikut-ikutan padahal sebenarnya tidak tahu) tapi tidak memaknai. Jika mereka memaknai, tidak akan ada lagi penjajahan dalam segala aspek kehidupan di Indonesia ini. Itu karena selama ini kita hanya mengingat sebagai seremonial saja bukan dalam aksi nyata. Ke depan mari kita ubah budaya ini. Kita harus menunjukkan aksi nyata agar Indonesia mandiri dalam segala aspek kehidupan! Mari berjuanng bersama-sama (yey).
***
Ini hanya opini saya. Jika ada pendapat kita berbeda, maknai lagi falsafah negara kita Pancasila "Bhinneka Tunggal Ika". Jika banyak yang salah, mohon ditunjukkan yang benar. Karena saya hanyalah seorang yang selalu belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H