Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cak Lontong dalam Waktu Indonesia Berpolitik

6 Maret 2017   19:17 Diperbarui: 7 Maret 2017   10:00 1956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu acara televisi yang sering saya tonton adalah Waktu Indonesia Bercanda (WIB) yang dikelola oleh Cak Lontong, dan ditayangkan pertama kali pada Sabtu, 23 April 2016. WIB memang selalu menjadi tayangan di ruang keluarga kami. Ngocol, konyol, dan logis pada tiap sesinya, yang terdiri dari kuis, yaitu TTS (Teka Teki Sulit), kata misteri, dan dipungkasi dengan ucapan motivasi.

Dalam sebuah situs daring Bryan Eduardus pernah mengulasnya. Saya cuplikkan ulasannya di sini, “Program ini merupakan sebuah program komedi yanglain daripada yang laindan merupakan sebuah konsep yang baru dalam industri pertelevisian kita. Membuat sebuah program komedi yang hampir sepenuhnya terfokus mencari kelucuan secara verbal (kata-kata). Melihat dari sudut pandang orang awam, membuat komedi sejenis ini bisa dikatakan jauh lebih sulit dibandingkan sekedar membuat komedi slapstick, menghina orang lain, dan sebagainya.”

Sementara mengenai apa saja yang telah ditayangkan, saya tidak perlu menayang ulang, baik apa saja kengocolan, kekonyolan maupun kelogisan. Pasalnya, beberapa tayangan bisa ditonton ulang di Youtube.

Setiap menonton acara tersebut pikiran saya sering meloncat ke ranah verbal (kata-kata) dalam tata komunikasi para elit politik Indonesia. Entah sedang berbicara kepada media secara politis ataukah sebagian merupakan pendidikan berpolitik praktis, bagi saya, mereka (para elit politik itu) sedang berkomunikasi verbal (kata-kata) dengan cara ngocol, konyol, dan logis.

Soal ngocol dan konyol, saya tidak perlu repot menuliskannya karena terlalu banyak contohnya. Soal logisnya, begini. Dalam konsep bahkan doktrin pemahaman saya, politik bukanlah dunia hitam-putih. Suatu kebenaran, baik secara prinsip maupun kenyataan, bisa menjadi “hitam” atau “putih”, tergantung keputusan (kepentingan) dari hasil komunikasi mereka yang berujung pada kekuasaan.

Politik adalah panglima,” kata Nyoto pada tahun 1960-an, yang pernah saya ketahui pada 1990-an. Konstitusi, baik Undang-undang Dasar maupun undang-undang lainnya, merupakan produk politik. Konstitusi merupakan senjata sekaligus perisai dalam penyelenggaraan negara.

Konstitusi bukanlah sebuah gambar sketsa atau perancangan. Konstitusi merupakan sebuah tulisan alias kata-kata. Bahkan, Rancangan Undang-undangan (RUU) Arsitek–saya arsitek–yang sedang menunggu pengesahan dari DPR RI tidaklah berisi gambar atau hanya gambar. RUU Arsitek yang saya dengar isunya lebih dua tahun, dari informasi Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Pusat Ahmad Djuhara, akan diputuskan pada April 2017.

Politik adalah panglima. Konstitusi adalah produk unggulannya. RUU Arsitek pun sangat tergantung pada komunikasi elit politik yang, sebagian, bernaung di gedung DPR RI.

Komunikasi elit politik. Komunikasi dalam ranah politik. Komunikasi tidak terlepas dari kata-kata. Sementara kata-kata dalam ranah politik tidaklah berkutat pada benar (putih)-salah (hitam), melainkan kepentingan politik itu sendiri. Di sana tidak ada gambar perancangan bangunan, ‘kan?

Kata-kata dalam komunikasi politik praktis bukan juga sebuah sabda alias kebenaran mutlak. Kata-kata menjadi bahan permainan kepentingan. Kalau kemudian yang terungkap dalam berita media, tetaplah bukan sebuah kebenaran mutlak. Semua bisa dipermainkan.

Ya, semua bisa dipermainkan dalam komunikasi politik praktis. Sama seperti acara WIB-nya Cak Lontong. Dan, tentunya, seperti ketika melihat wajah datar Cak Lontong di antara wajah jengkel-gemas para peserta kuis dalam koridor komedi, politik pun, menurut saya, tidak berbeda permainannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun