Setangkai anggrek bulan
Yang hampir gugur layu
Kini segar kembali
Entah mengapa
Lia tersenyum setelah membuka kiriman lagu lawas bergambar gerak berupa duet artis itu di layar ponselnya. Kiriman dari Demun sekaligus pemilik proyek pengembangan perumahan yang sedang dikerjakannya.
Dasar aki-aki, batinnya.
Pkl. 06.15 tertera di layar ponsel. Ia menutup layar ponsel, dan meletakkannya di atas bantal.
Ia segera bangkit dari ranjang kayu jati, beranjak ke arah jendela kaca yang tidak bening lagi. Begitu jendela kaca dikuakkan, udara sejuk langsung menerpanya.
Di luar jendela terhampar petak-petak persawahan yang kering kerontang dengan beberapa biri-biri sedang menyantap sarapan. Tidak ada saluran irigasi. Musim kemarau terlampau panjang.
Ia bergegas ke luar kamar sewanya menuju dapur. Nek Imah sang pemilik rumah sudah menyiapkan air panas dalam termos sebagaimana biasanya.
"Pagi."
"Pagi juga."
Sambil bertegur-sapa sejenak dengan Nek Imah yang sudah menjanda  dan berselisih usia sekitar lima-enam tahun dengannya, Lia menyeduh secangkir kopi. Nek Imah tidak terlalu meladeni obrolan karena sedang sibuk memasak sayur di atas tungku berkayu reranting jati.
Menikmati kopi pagi merupakan tradisi pagi Lia sebelum berangkat ke lokasi proyek yang jaraknya dua puluh meter tetapi areanya seluas tiga belas hektare. Di samping itu, ia akan ngobrol dengan Odang.