Sepulang dari menonton wayang yang belum usai, Slamet dan dua kawannya melintasi tepian Sungai Bengawan.
Rembulan sedang menerangi jalan berbatu. Udara sangat dingin tetapi terhalangi oleh sarung mereka.
Kruk. Kruk. Kruk. Suara induk ayam tertangkap di telinga mereka. Ketiga remaja itu saling menatap sambil menegakkan telunjuk di bibir.
Dalam benak Slamet tergambar seekor induk ayam sedang mendekap anak-anaknya. Ayam milik siapa?
Seorang kawannya memberi kode dengan kedua tangan. Sarungi!
Kemudian ketiganya mengendap-endap untuk mencari posisi sumber suara. Semakin jelas suara itu, mereka pun mendekatinya.
Di bawah serumpun bambu apus mereka mendapati seekor induk ayam sedang mendekap anak-anaknya. Slamet mendekati sambil membungkuk-bungkuk dengan perlahan-lahan. Sementara kawan lainnya membuka sarung.
Hap! Slamet berhasil menangkap induk ayam beserta anak-anaknya. Sama sekali tidak ada perlawanan atau suara penolakan.
Slamet pun memasukkannya ke sarung kawannya. Lalu kawannya memanggul sarung itu. Maka mereka melanjutkan perjalanan pulang dengan wajah semringah.
Rembulan menyaksikan rincian aksi mereka. Udara sangat dingin yang mengusap kulit tanpa perlindungan sarung tidaklah dihiraukan oleh kawannya.
Sekitar belasan meter dari serumpun bambu tadi, Slamet melihat gerak kawannya agak membungkuk. Dengan lirih kawannya mengatakan bahwa panggulannya semakin berat.