Masih semangkuk kudapan menetes liur belum telanjur kutuang dalam seloki kelimbungan. Umpan tekak sudah mendekam ditinggal jarum jam pendek pada angka lain. Kamu sering menggaruk-garuk kepala tanpa kutu hanya uban-uban mengabaikan semua rekaman dalam matamu atau masih belum banyak sangkutan di sela-sela rambutmu.
Sebenarnya perjamuan biasa saja ketika aku menepi dari garis pinggir dan menatap lalu-lalang debu dedaun kering sembari menggambar bayanganku sendiri. Sejuk dingin hangat panas berlegaran mengusap menusuk permukaan apa saja.
Aneka aroma mondar-mandir terkadang menyapa terkadang mampir tersering tiada kerling. Riuh lindu puting beliung masih sayup-sayup. Serat optik belum membangun penjara di tiap-tiap pojok kota kampung pelosok.
Aku memang bayangan jauh dari liuk lekuk peta para penyihir. Dari puing-puing benturan angin aku mengirup uap tanah. Dari pecahan-pecahan cahaya aku mendegupkan dada. Dari kerak-kerak air mata nanah aku mendenyutkan nadi. Dari remah-remah debu aku mengisi perutku.
Duri paku beling bara membuka jalan terjal untukku agar langkahku bersekutu dan berembuk dengan mata dan pikiranku menuju suatu renjana. Tidak ada coretan tentang benih setitik tinta bermusim-musim pada lembar-lembar kalender terkelupas dengan putih dikepung cokelat. Bayangan-bayangan berkelebat mengangkut wajah sendiri.
Aku seperti pengembara suntuk menunaikan kutukan dari nama di tengkuk. Renjana berabad-abad silam menjelma kutukan. Renjana bergentayangan di setiap lini. Renjana menggerayang sendi-sendi. Orang-orang berteriak lantang tentang berkat pasca-kutukan ditaklukkan via dolorosa sebagai monumen perjamuan paling ajaib. Akan tetapi langkahku selalu menepi dari garis pinggir dan menepis hasutan-hasutan skeptis utopis.
Memang jalan kutempuh bukanlah jalan raya atau jalan-jalan seperti karpet merah pada perjamuan para pesohor tergempor-gempor memapah pesan-pesan sponsor sambil menyalakan sensor kecemasan mendebarkan dada mereka sendiri jika ceroboh teledor. Jalan mayor jalan minor jalan menor jalan mandor bukanlah jalanku.
Jalan berduri berpaku berbeling berbara sebenarnya biasa-biasa saja. Aku menempuhnya pun tiada selipan renjana bersimpuh pada tahta mahkota berpesta serdawa berdecak gegap gempita tepuk tangan. Ledes lepuh takselaras lempai lumpuh dalam henti rehat memahat jejak di rongga-rongga tengkorakku. Â Rongga-rongga tengkorak adalah tempat harta karun takterterka takteroka.
Kamu tidak pernah tahu meski rambutmu sudah hapal bagaimana mengepel lantai kamar mandi. Kamu tidak pernah tahu meski lidahmu bergelembung sabun mandi bercampur sampo. Kamu tidak akan pernah tahu kecuali bagaimana gegap gempita tepuk tangan di balik pintu kamar mandi lalu kamu kumpulkan meski terkadang isak kamu sodorkan untuk menggedor dada menjadi tepuk tangan bertalu-talu.
Ya, kamu memang tidak perlu tahu karena kamu pun tidak perlu banyak kuketahui. Kukira cukup itu sebab kudapan di depanku tidak bisa kutuang semuanya dalam seloki kelimbungan berujung kelimpungan seumpama menuang semangkuk soto ke selembar daun marungga sedangkan daun jati menangkup sebatang kelingking.
*******