Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Solilokui | Belum Juga Purna

6 Januari 2019   01:04 Diperbarui: 6 Januari 2019   04:25 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku mencamkan setiap kelindan kata terbambang merisak pandang. Tidak hanya pujangga kamu kenal atau bujangga aku kenal karena sejatinya kelindan kata bukanlah buncahan belaka seperti akibat medu kuar bangat mendului waktu. Aku pun mendaras dengan derana dalam sunyi ruang renung bumiimaji.

Aku mendaras meski belum ke dasar. Ya, mungkin seperti petuah ninik-mamak,"Enda kala' mande' enda basah." Tidak pernah mandi tidak basah. Tetapi di sungai Kalimantan, sekujur raga berbalut airnya. Tidak ada mandi koboi.

Tidak ada yang baru di bawah matahari. Memanglah demikian seperti nukilan dari Paulo Coelho pun kamu pernah melihat kilasannya, "Segala sesuatu di bawah matahari telah ditulis oleh satu tangan saja." Namun aku tidak perlu mencamkan, mengapa kamu panar menatap sekelebat sekelindan kataku seolah kubangan belangkin.

Apabila aku boleh menduga, barangkali pawai pariwara terlalu lancar gencar berwira-wiri di jalan-jalan, mencecar rumah-rumah hingga merangsek ke kasur bantal guling seprei dengan panji-panji pragmatisme. Memang tiada bancang, siapa dan apa pun membendung terlebih di era cybernetika dalam segenggam mabuk kepayang. Tetapi sejak semula, aku mendaras dengan derana dalam sunyi ruang renung meski kini di lamin beralas lampit. Pariwara seakan niskala karena berkebutan dengan angin, halimun, bahkan menyaru-nyaru.

Dengan derana seperti merana. Tidakkah aku harus menafakurkan hayati setiap pikatan dari kelindan kata? Apakah setiap kelindan kata memikat juga sama? Kupikir, perlu kulepas kelindannya bahkan simpulan hingga kata-kata pulen tidak teraduk pariwara.    

Dalam mencamkan dan mendaras aku belum purna meski teja bisa luput dari tujuman siapa saja. Aku masih sepersekian jalan dan jejak pendarasan nirpariwara. Aku masih suntuk meniti setiap helaian lirih berkecamuk amuk dan tunduk. Entahlah kamu, dia, kalian, atau mereka. 

*******
Balikpapan, 6 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun