Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secangkir Kopi Hitam Berhalaman Tungku

4 Januari 2019   21:10 Diperbarui: 4 Januari 2019   21:23 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secangkir kopi hitam mencangking ingatan tentang halaman bertungku dari kedai kahwamu menuju berandaku. Matahari menjilati leleran liur dan kerak ingus waktu hanyalah sesaat sebelum dikepung mendung bisa mendadak gerhana total tetapi malam tanpa rembulan telanjur membekapkan sukamandi ke bulatan kepalamu.

Aku telah lelah bertiwikrama membeliak hingga meruyup tetapi kamu tidak menjeling sekejap pun karena seluruh skleramu tertutup kopi hitam. Barangkali cangkirmu pun tertelan bulat-bulat sehingga kesunyian membunyi-bunyi di mulutmu.

Suaraku? Suaraku ditepis daun telingamu tidaklah bisa melewati liang menggetarkan membran tympani bergerak melalui osikula menuju rumah siput, ah, sudahlah. Sedangkan dari getar nuranimu saja hanya mampu berputar-putar dalam lemak pusarmu. Betapa tebal hingga menjebakmu dalam terungku purba menggelorakan syahwat homo homini lupus.

Secangkir kopi memural wajah rata pucat pasi pada separuh pantat ceret menjumpa separuh-separuhnya lagi. Aku tidak sekadar memoles wajah tetapi menyampaikan bahasa paling sederhana dengan garis-garis telapak tanganku laksana bausuku berjibaku mengejawantahkan jeritan jiwa bersenyawa sukma. Semula kukira kamu bisa membaca setiap torehan meletak maksud. Ah, terlalu tebal sukamandi itu, rupanya.

Sekarang berakhirlah kecindan pincang seperti periode silam tergulung dalam lampit-lampit.  Sekarang tumpahlah secangkir kopi hitam tatkala matahari padam rembulan legam. Aku menggumam dalam geming entahlah sekitar berapa hertz mungkin infrasonic entahlah.

Hening bening adalah hidangan mengadang. Aku tetap mengandalkan secangkir kopi hitam untuk menuangkan serpihan sepi dengan serunai buntu tanpa aliran syair di sungai-sungai bebatu berpasir kelabu dari muntahan magma. Halaman bertungku belum lalai menuliskan larik syair-syair berdesis.

Aku pun masih menggores ujung jemari pada secarik ingatan agar tidak dilesap para perewa. Dan, dalam secangkir kopi hitam, siapa pun silakan menyelami.   

*******
Balikpapan, 4 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun