Aku bertemu kamu lagi setelah seekor anjing diculik dari jendela belakang merusak pintu depan membawa pengecut membusungkan dengkulnya di antara ilalang jangkung dan sebuah perigi terjebloskan seekor biawak dilupakan lapuk belulang ceri. Mungkin rambutan kelapa pinang bunga sepatu saling membisik tentang peristiwa-peristiwa sungkawa berkostum lelawa.
Maaf aku telah berpaling langkah dari teduh tatapmu sejuk senyummu. Jejuta jejak kutinggalkan di sepanjang perlintasanku menjauh ke padang gurun membara berpeluh keluh berperih raga berperah air mata menemani tiada reda nan jeda. Lelaki kelana pantang pulang kala kehendak kaki tidak terkekang. Â Â
Aku tidak mengharap hitunganmu dengan lintasan matahari bulan dengan dedaun kering berguguran hanya karena waktu telah menimbun dedebu di permukaan bebatu kekayu tumbang tunas telah membatang cabang ranting rerimbun daun mulai berbuah. Aku tahu betapa rapat jejaring laba-laba membungkus bekas rebahku di dekat hening pertapaanmu.
Mungkin kering batang kayu di pojok pekarangan akhirnya menyerah pada serbuan rayap. Mungkin kerikil-kerikil menyingkir ke balik sunyi kulit merah tanah dalam pertempuran angin dari segala penjuru. Mungkin unggas liar telah mengungsi ke benua lain dengan mengangkut sisa embun-embun untuk bekal penerbangan. Sementara waktu tidak mengikuti putaran jarum jam di bilik gubukmu.
Ah, siapakah bisa menujum arah pendulum pandum? Ah, belukar mana bisa menjawab desir angin di parit berpipi beton baru sebulan meniti lembaran kontrak musim hujan membanjiri hamparan tunas-tunas tak bernama?Â
Kini aku kembali sejenak melarung segala lara lusuh dalam bening linang bola matamu agar kamu tidak tenggelam dalam terkam terkaan bahwa kaki-kakiku selalu berjingkrak bagai kijang lapar di padang rumput hijau bagai kijang haus di telaga jernih. Berjingkrak memanglah ada dan aku tidaklah mengingkarinya. Bertekuk luruh pun ada dan aku tidaklah perlu memaksa bertepuk dada agar seolah kesatria paling perkasa dari segala raksasa di rimba belantara.
Kembaliku hanyalah petilasan waktu memunguti serpih sepi sepai sepoi di tepian pertapaanmu dari amburan langka segenap persinggahan usang berfatamorgana desis oasis meliuk liar derik. Kembaliku hanyalah aliran angin menggiring tatih demi tatih letih batin mengais sampah kehampaan fana.
Inilah aku dari pertama kamu kenal sampai kembali meletakkan telapak di debu rerumputan kakimu. Izinkan aku sesaat berteduh di naungan rimbun dedaun rindumu. Biarlah cumbu ditunda dulu agar tidak menjulangkan tanduk cemburu para pengecut.
*******
Balikpapan, 4 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H