Sebagian orang pernah berkelakar mengenai asal kata "kreatif". Kata mereka, kreatif berasal dari kata "kere" (gembel; miskin) dan "aktif". Meski berkelakar, mungkin memang tepat jika sebagian orang lainnya mengamati usaha keras saya dalam berkarya secara total.
Betapa tidak "kere-aktif", saya berusaha melakukan sendiri karena tidak mampu membayar siapa-siapa dalam penerbitan buku saya, semisal calon buku "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia". Saya melakukan setiap proses dengan sendiri saja, kecuali perihal "pilihan editor Kompasiana", nomor ISBN dari Perpustakaan Nasional R.I., dan pencetakan di sebuah percetakan nanti.
Tentu saja, latar aktif di majalah SMA BOPKRI II Yogyakarta, lalu Bimbingan Menggambar di Garizt--milik Himpunan Mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, dan aktif di pers mahasiswa kampus--Majalah Mahasiswa Teknik Sigma UAJY--sangat berperan dalam proses "kere-aktif" saya. Sementara dari sisi spiritualitas saya, Bapa Yang Baik tidak mungkin memberi satu talenta sebagaimana anak minta ikan tidaklah diberi-Nya kalajengking. Â
Memiliki penerbit sendiri bukanlah berarti saya memiliki karyawan, baik ahli bahasa maupun gambar (desainer). Saya tidak mampu membayar karyawan, apalagi dengan tunjangan dan kewajiban lainnya sebagai tanggung jawab pemilik usaha.
Penerbitan saya memang tidak berorientasi pada profit alias bukan kapitalis-industrialis. Saya selalu menerbitkan buku dalam jumlah minimalis, yaitu 20 eksemplar per judul buku. Hanya minimalis itu kemampuan keuangan saya. Mau-tidak mau, "kere-aktif" pun saya lakoni sendiri demi pengabadian karya sendiri.
Dan, melalui artikel sederhana ini saya akan membongkar "sedikit" mengenai proses penggarapan calon buku saya, walaupun sama saja dengan buku-buku saya lainnya. Mungkin biasa-biasa saja bagi sebagian Pembaca sehingga saya menyebut artikel ini "sederhana".
Menulis
Menulis, tentunya juga membuat buku-buku saya, merupakan bagian dari keseharian saya sebagai arsitek. Â Meskipun belum tentu setiap hari, ada waktunya saya akan menulis. Menulis apa saja yang mendadak singgah di kepala. Wajarlah, imbasnya adalah rambut di jidat saja kewalahan meladeni persinggahan mendadak itu, bahkan tersingkir dari kediamannya sendiri.
Terkadang, jika sempat, saya menyertakan ilustrasi tulisan, yang sebagian merupakan karya atau dokumentasi saya sendiri. Bagi saya, tulisan saya menjadi lengkap dengan adanya ilustrasi sendiri. Itu pun jika sempat. Seringnya saya tidak sempat sehingga pihak editor/redaktur Kompasiana yang memberi ilustrasinya.
Mengumpulkan