Berita seputar pelakor sedang marak di 2018 ini, meski, kabarnya, sudah sejak 2017 ketika gosip membawa-bawa nama Ayu Ting Ting-Raffi Ahmad, Jennifer Dunn-Faisal Harris, atau Mayangsari-Bambang Triatmodjo pada 2005. Di luar berita selebritis, ada pelakor yang dipukuli sampai babak-belur. Ada juga yang dipermalukan (dirundung/di-bully) di media sosial. Macam-macamlah berita seputar pelakor hingga akronim "pelakor" malah menjadi "pelaku sekaligus korban".
Singkatan "Pelakor" (Perebut Laki Orang), katanya siapa, sih, merupakan pengganti singkatan "WIL" (Wanita Idaman Lain). Kalau dalam WIL terkesan bahwa si laki-laki melakukan "gerilya senyap" dengan wanita bukan pasangan sah-nya, dalam "pelakor" terkesan bahwa wanita bukan pasangan secara agresif melakukan tindakan (perebut-agresor). Artinya, antara dua wanita bukan pasangan terlihat secara aktif (pelakor yang agresor-suka nyosor) dan pasif (WIL yang diam-diam menghanyutkan).
Dan seterusnya. Mengenai pelakor dengan bahasan semantis-sosial-psikologis, tentu saja, sudah banyak dibahas, dan digosipkan, meskipun di samping "pelakor" ada "pebinor" (perebut bini orang) atau "perisor" (perebut istri orang) semisal kasus perceraian Ahok-Vero. Intinya, pelakor, WIL, bahkan pebinor, perisor, PIL (Pria Idaman Lain), dan selingkuhan sudah marak, dan suatu waktu akan membosankan lalu muncul sebutan, julukan atau akronim lainnya.
Bahkan, secara historis (zaman opa-oma old) dalam Injil Perjanjian Lama pun sudah ada, meski belum muncul istilah atau akronim semacam sekarang. Bapa Abraham dan Raja Daud. Dalam Injil Perjanjian Baru juga ada, yaitu Herodes yang berujung pada pemenggalan kepala Yohanes Pembaptis.
Intinya, ada orang lain, baik menyusup (aktif) maupun disusupkan (pasif), meski masih belum jelas seberapa besar aksi susup-menyusup tersebut. Dan, orang lain ini, istilahnya lagi, adalah orang ketiga.
Lalu ada pertanyaan, yang pernah dibahas secara lisan (dalam obrolan antartetangga) ataupun tulisan. Apakah penyebab utama hadirnya orang ketiga dalam suatu hubungan?
Analisisnya serius, tergantung, orang ketiga berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Dari analisis itu muncullah beraneka wacana mengenai sebab-musababnya sekaligus upaya pencegahan atau kiat-kiat menghadapi persoalan itu. Dari wacana, jadilah semacam nasihat, dan seterusnya, dan disebarluaskan sebagaimana zaman now.
Di luar keseriusan itu, ada jawaban termudahnya atas penyebab kehadiran orang ketiga dalam sebuah hubungan. Penyebab utamanya adalah kehadiran orang kedua dan pertama. Tanpa kehadiran orang kedua dan pertama, mustahil hadirnya orang ketiga. Tetapi mengapa justru orang ketiga yang menjadi bulan-bulanan banyak kalangan.
Apakah orang ketiga selalu identik dengan pelakor-pebinor, dan satu-satunya yang harus menjadi bulan-bulanan?
Hadirnya orang ketiga dalam sebuah hubungan, tidak jarang, disusul oleh orang keempat, kelima, dan seterusnya. Hal ini diam-diam bisa terbaca dalam "buku tamu" paling rahasia. Tetapi lagi, entah mengapa, walaupun nanti hadir orang keempat, kelima, dan seterusnya, tetap saja orang ketiga yang menanggung derita bulan-bulanan banyak kalangan.
Kalau ternyata setelah orang ketiga lalu disusul orang keempat, kelima, keenam, dan seterusnya, ada apakah sebenarnya?