Kalangan yang Seyogyanya Hadir
Bisa dibayangkan dengan adanya 4 seminar, 3 presentasi, dan 6 talk show, selama 3 hari dalam NTT Expo 2017, seberapa kental nuansa intelektualnya, bukan? Bisa dibayangkan pula bagaimana komentar beberapa orang itu, bukan?
Sayangnya, hajatan yang kental dengan nuansa intelektual tanpa pemborosan anggaran berupa letusan kembang api pada purna acara itu tidak dihadiri oleh kalangan-kalangan yang berkompeten. Kalangan berkompeten ini, tentu saja, yang benar-benar berkaitan dengan evaluasi terhadap kondisi nyata terkini hingga rencana-rencana ke depan untuk NTT. Kalangan mana sajakah itu?

"Kita menyayangkan ketidakhadiran teman-teman dari SKPD, biro-biro, dan lain-lain itu," ungkap Dewi S.--satu-satunya orang pemrov NTT yang mengikuti acara sejak awal hingga bubar, "karena melalui acara inilah kita sedang mengevaluasi kinerja kita selama 5 tahun, mencari alternatif-alternatif solusi, dan bagaimana langkah ke depannya nanti untuk NTT sendiri, apalagi para pembicaranya pun berkaliber nasional dan internasional. Paling tidak masing-masing menghadirkan 5-10 wakil, duduk bersama untuk belajar kembali serta menyiapkan hal-hal terkait demi masa depan NTT yang semakin baik."

Dalam masa kepemimpinannya Frans Lebu Raya mencanangkan 6 tekad pembangunan, dan program andalan bernama Demam (Desa Mandiri Anggur Merah; Anggur Merah = Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera). 6 tekad pembangunan tersebut adalah menjadikan NTT sebagai Provinsi Pariwisata, Provinsi Koperasi, Provinsi Ternak, Provinsi Kepulauan berbasis Kelautan dan Perikanan, Provinsi Jagung, dan Provinsi Cendana.
Apakah keenam tekad beserta program Demam-nya itu sudah benar-benar terwujud? Apakah masih banyak kekurangan, perlukah pembenahan, dan bagaimana meningkatkan pencapaian-pencapaian yang sudah ada? Apakah setelah Frans Lebu Raya 'lengser' (2018) lantas semua tekad dan program pun ikut 'lengser' alias lenyap-senyap?
Dan, barangkali, masih banyak pertanyaan lainnya yang sama sekali tidak mengemuka dari para calon pengganti Frans Lebu Raya karena ketidakhadiran mereka. Artinya, forum kritis-analitis melalui seminar, presentasi, dan talk show itu masih minus penerus gubernur yang siap membenahi, mengembangkan, dan meningkatkan pencapaian-pencapaian yang telah diraih.
"Acara-acara itu sangat berkualitas, dan sewajibnya dihadiri oleh orang-orang yang berkualitas pula," komentar Gusty Fahik--penulis buku Membaca Jejak Kekuasaan (2017). "Para calon gubernur seharusnya hadir untuk turut mengamati dan mengevaluasi, lantas menjadikan semua pembicaraan dari seminar, talk show, dan presentasi itu sebagai bagian dalam program-program unggulan untuk kampanye mereka nanti. Sayang sekali mereka tidak memanfaatkan acara berkualitas ini."
Mungkin patut disayangkan. Tetapi apa daya, acaranya sudah bubar.