Matahari masih menjaga jarak dari permukaan air asin Teluk Kupang. Seorang pria beruban dan berkucir dengan rambut sisa 10 cm datang dengan seorang pemuda ke tempat kerja saya.
Saya menyambutnya sembari mendengar ia menanyakan di mana rekan saya berada. Kebetulan rekan saya belum kembali ke kantor sehingga saya mudah menjawabnya. Kemudian saya mengenalkan nama saya, dan ia pun menyebut namanya.
"Peter," jawabnya dalam keadaan masih bersalaman dengan saya.
Saya tersenyum saja. Sama sekali tidak terperangah atau heran. Berikutnya saya bersalaman dengan pemuda di sebelahnya.
Dengan muka karet dan kata-kata taktis saya menyilakan ia dan pemuda itu duduk di kursi-kursi dari ban bekas. Dan, sambil mengambil posisi duduk, pemuda itu mengatakan bahwa Opa Peter datang ke tempat kerja saya karena sebelumnya berjanjian dengan rekan saya.
***
Hari itu Sabtu, 9 Desember 2017. Tempat kerja saya tidak berada dalam suasana istirahat akhir minggu (weekend). Di situ saya dan rekan-rekan justru sedang berada dalam masa tersibuk untuk menyiapkan sebuah acara se-NTT. Kesibukan itu juga bersamaan dengan hajatan "Festival Tpoi Ton"-nya Pustaka Jalanan "Leko" Kupang pada hari ke-2.
Lucunya, kesibukan itu pun harus saya kesampingkan dulu untuk meladeni Opa Peter sebelum kedatangan rekan saya. Padahal rekan saya sama sekali tidak menitipkan pesan apa-apa. Entah mengapa, saya sama sekali tidak merasa terusik oleh kedatangan Opa Peter.
Di sela-sela obrolan ringan, rekan-rekan lainnya berdatangan. Entah ke mana tadi. Masing-masing menyalami Opa Peter, dan pemuda itu. Biasalah, adat Timur, selalu hangat menyambut tamu. Bahkan, seorang-dua orang mengenal pria berusia 75 tahun ini. Kelihatannya mereka sangat mengenal siapa Opa Peter.
Sebentar saja bersalaman, lalu mereka segera menyingkir. Ada yang hendak melanjutkan kesibukan. Ada juga yang hendak membuatkan secangkir kopi untuk saya, dan dua cangkir teh untuk Opa Peter dan pemudi itu. Yang jelas, dan memberi kesempatan pada saya untuk mengenal siapa Opa Peter.
***