Aku tidak pernah menyangka Cerpen berkunjung setelah Puisi pergi, dan sebuah tulisan fiksi telah kuselesaikan sekian menit lalu. Sama sekali tidak ada tanda-tanda atau pemberitahuan, apalagi janji akan kunjungannya. Seperti kata Pantun, Polisi nilang / centeng nantang / Puisi hilang / Cerpen datang.
"Aku ingin mengajakmu bertamasya," katanya tanpa sapa atau permisi.
"Aku..." Aku melongo.
Bagaimana tidak melongo, kalau tiba-tiba ada yang berkunjung, tanpa sapa atau permisi, langsung mengajak tamasya begitu? Apa mungkin dia mengajak tamasya supaya aku tidak tertular kecewa pada Puisi yang kecewa?
"Sudahlah, kamu mau saja. Nanti nyesel lho kalau menolak. Toh tulisanmu sudah rampung."
"Tapi..."
"Tapi apa?" potongnya. "Tidak usah membawa si tapi."
***
Ajakan yang menjanjikan untuk dijinakkan. Kebetulan satu tulisan rampung. Kebetulan ada kesempatan. Kebetulan aku memang tidak punya rencana kegiatan apa-apa setelah merampungkan tulisan.
Aku menduga, Cerpen pasti tahu itu sehingga dengan tanpa kata pengantar apa-apa tapi langsung mengajak tamasya. Â Aku pun kemudian menyanggupi setelah lebih setengah jam menimbang-nimbang dengan kemungkinan dalam perkiraan belaka.
Tapi syaratnya, mataku harus dalam keadaan tertutup. Padahal aku ingin sekali melihat situasi dalam perjalanan. Yang kutahu dari tamasya itu bukan hanya ketika ketika sampai di tempat tamasya tetapi juga perjalanan merupakan bagian dari tamasya itu sendiri.