Sejak pertama hingga ketiga kali berada di Kupang, koran lokal edisi Minggu sering menjadi bacaan saya. Minggu merupakan hari bebas untuk membaca koran alias tanpa memikirkan apa yang harus saya kerjakan.
Untuk kali ketiga ini, saya membaca dua koran lokalnya yang menyiarkan (memuat) karya sastra, misalnya puisi, cerpen, dan esai seputar sastra. Nama-nama sastrawan lokal yang sudah terkenal, misalnya Mario F. Lawi, Ragil Sukriwul, Dicky Senda, Cipryan Bitin, Felix Nessi, dan lain-lain, tentu saja, sudah jarang saya temukan. Yang kemudian muncul adalah nama-nama yang baru saya ketahui. Siapa, misalnya? Cukup banyak-lah.
***
Pada awal 2000, kalau saya tidak keliru, melalui sebuah esai seorang sastrawan mendeklarasikan "Minggu Hari Perayaan Budaya" bagi para peminat sastra Indonesia. Dikatakannya pula, Minggu merupakan hari kemenangan sastra koran, dan para peminat sastra akan 'menyerbu' tempat penjualan koran hanya untuk mendapatkan koran edisi Minggu yang memberi ruang bernama rubrik "Budaya", "Sastra", atau "Seni", yang menyiarkan puisi, cerpen, esai budaya, dan sastra umumnya.
Koran, surat kabar, harian, atau media massa-cetak, dalam skala nasional maupun regional pada masa itu memang memberi ruang khusus bagi budaya setiap edisi Minggu. Ada juga yang memberi ruang pada edisi Sabtu. Sementara lainnya, semacam sebuah mingguan, juga memuat rubrik untuk sastra. Tetapi secara jamak, edisi Minggu menjadi momentum bagi peminat sastra untuk membaca karya-karya sastra di media massa-cetak.
Pada perkembangan selanjutnya, koran memasuki masa senjakala, yang berimbas pada sastra koran. Ada koran yang tidak lagi berubrik "Budaya". Ada juga koran yang memindahkan sebagian ruang sastra pada edisi Sabtu.
Sampai pada 2017 ini saya belum lagi membaca tulisan terbaru dari sastrawan tadi berkaitan dengan perkembangan (baca:perubahan) situasi koran; apakah deklarasi itu masih relevan atau tidak; apakah kemenangan itu abadi atau mengalami degradasi; apakah perayaan sudah bubar. Â Â
***
Sebenarnya ada kekhawatiran pribadi dalam diri saya jika saya ikut "merayakan deklarasi" sekaligus membuktikannya dengan Minggu sebagai waktu bebas untuk membaca koran edisi Minggu. "Ikut-ikutan" alias epigonitas sangat tidak menarik bagi saya. Seolah saya tidak memiliki pendirian atau prinsip sendiri, bukan?
Tetapi persoalan kekhawatiran tidaklah penting saya besar-besarkan. Saya harus melihat dari sisi yang lain supaya bisa mereduksi kekhawatiran yang tidak penting itu. Saya harus melihat pada sisi yang positif, meski tidak harus membeli test pack, ke klinik bersalin, bidan setempat, atau malah ke toko elektronik agar jelas positif-negatifnya.
Sisi lain yang justru penting adalah, pertama, denyut nadi alias kehidupan sastra sebagai bagian dari budaya. Saya memberi apreasiasi setinggi-tingginya kepada koran, baik nasional maupun lokal, yang menyadari betapa pentingnya rubrik Budaya itu. Artinya, budaya berisi sastra masih hidup secara layak di masyarakat Indonesia.