Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Makanan untuk Kehidupan

29 Oktober 2017   07:39 Diperbarui: 29 Oktober 2017   18:27 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar Mei 2014 di Kupang saya bertemu dengan Takuya--seorang peneliti dari Jepang. Kebetulan Takuya sedang berlibur di ibukota Nusa Tenggara Timur setelah suntuk melakukan penelitian sekaligus pendalaman aturan-perundangan mengenai makanan halal di Jakarta.

Terang saja, sebagai orang Indonesia yang belum pernah keluar negeri dan kurang wawasan internasional,  saya heran. Selama sekian lama pemahaman saya mengenai makanan di Jepang yang selalu diceritakan orang adalah serba bebas. Rupanya Jepang pun sudah menganggap penting perihal makanan halal.

Dari pertemuan dengan Takuya, saya menduga, Jepang yang selalu terbuka terhadap kedatangan orang dari mancanegara sekaligus berkeyakinan (agama) berbeda, mau-tidak mau harus juga memerhatikan makanan yang dikonsumsi secara umum. Dengan demikian, orang-orang mancanegara, entah dalam rangka wisata, bekerja atau dinas,  bisa lebih tertarik untuk berkunjung ke Negeri Sakura. Tentu saja, pikir saya, sangat berdampak bagi perkembangan dan kemajuan pariwisata sekaligus perekonomian Jepang dalam pergaulan internasional.

Makan dan makanan memang merupakan kemutlakan bagi hidup dan kehidupan (pergaulan yang luas dan berkelanjutan). Hal tersebut sangat mengingatkan saya pada 'petuah' paling sederhana dari Pak Kiman ketika saya berkunjung ke rumahnya dalam rangka Imlek 2563 atau 2012 M di Balikpapan, Kaltim.

Syarat hidup itu sebenarnya hanya satu, yaitu makan. Sederhana saja, bukan?

Penerapannya juga sederhana. Pada beberapa Imlek saya selalu bersama Pak Puji berkunjung ke rumah Pak Kiman. Pak Puji-lah yang memperkenalkan saya pada Pak Kiman karena faktor kesamaan daerah asal (Pulau Bangka, Babel). Saya lahir-besar di Sungailiat, dan Jawa-Kristen. Pak Kiman lahir-besar di Pangkalpinang, dan Tionghoa-Kong Hucu. Pak Puji sendiri berasal dari Malang, Jatim, dan Jawa-Islam.

Pada setiap kunjungan ber-Imlek saya, Pak Kiman, dan Pak Puji ngobrol lebih dari 1 jam. Tentunya ada bagian makan-minum. Kalau Pak Kiman berpetuah 'syarat hidup hanyalah makan', saya dan Pak Puji sudah hafal petuah Jawa 'hidup hanya mampir minum'. Makan-minum, klop, bukan?

Cerita mengenai makan-Imlek-pergaulan lintas agama semacam itu bukanlah hal pertama-aneh yang saya ketahui-alami. Yang jelas, secara langsung, berkaitan dengan daerah asal saya (Sungailiat, Bangka) yang kental dalam keharmonisan antaretnis-agama (pluralisme). Satu contohnya, ketika saya tinggal di rumah kakak angkat saya (Jawa-Islam) di Koba, Bangka Tengah. Seorang tetangga (Melayu-Islam) mendapat 'pekerjaan' dadakan dari sebuah keluarga Tionghoa-Kong Hucu berupa membuat rendang dan gulai untuk sajian Imlek berikut 'sewa' peralatan makan karena sebagian tamu Imlek, baik tetangga maupun kolega usaha, adalah orang Melayu-Islam.

Lebih sempit lagi adalah keluarga saya di Sungailiat. Kakak angkat saya yang di Koba itu disekolahkan oleh orangtua saya, dan tinggal di rumah orangtua saya selama lebih 5 tahun. Tentu saja setiap hari raya Tahun Baru (bukan Natal) kakak angkat saya terlibat penuh dalam persiapannya, termasuk sajian hari raya. Selain hari raya, tentunya juga, hari-hari biasa. Bagaimana dengan kehalalan makanan yang tersaji, bukan?

Paling sempit adalah keluarga orangtua saya. Mayoritas keluarga dari pihak ayah maupun ibu di Jawa adalah beragama Islam. Beberapa anggota keluarga dari Jawa juga merantau ke Bangka, dan tinggal selama minimal 1 tahun, selain beberapa anak angkat orangtua saya beragama Islam. Lantas, bagaimana dengan kehalalan makanan sehari-hari di rumah orangtua saya, bukan?

Di sekitar rumah orangtua saya, tepatnya Kampung Sri Pemandang Atas, dihuni oleh banyak (mayoritas) orang Melayu-Islam. Lagi-lagi, bagaimana dengan kehalalan sajian hari raya, hari khusus, atau keseharian keluarga kami di antara tetangga kami, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun